Minggu, 08 April 2012

Kuliah Kebun Teh


Menjauh dari hingar bingar perkotaan begitu menyenangkan. Terlebih karena aku menghabiskan malam dalam dekapan kasih dua orang yang menjadi perantaraan aku hadir di dunia ini, bapak dan mama.

Kubuka pintu pagi yang beku. Gegas memburu kamar mandi. Hari ini aku ingin menikmati hijaunya perkebunan teh. Sejuknya air meresap. Mengantar rasa damai melalui pori-poriku.

Setelah melewati gang, kini aku berada di jalan utama. Tentu jalan utama disini tidak seperti jalan utama di jalan soekarno-hatta atau jalan gatot subroto, di pusat kota bandung sana. Jalan utama disini tidak lebih dari sebuah jalan yang cukup dilalui dua kendaraan (dari arah berlawanan). Jalan ini sama sekali tidak padat, sangat jauh dari kesan ramai.

Aku menghentikan langkah di pertigaan. Di hadapanku tampak sebuah jembatan. Jalan tol. Semenjak keberadaannya, banyak hal yang berubah dengan kondisi desa ini. Cuaca berubah. Saat pembangunannya cukup banyak penebangan pohon, sehingga kini panas lebih sering mengakrabi penduduk desa ini.

Kondisi ekonomi pun berubah.  Sebelum jalan tol itu rampung dibangun, jalan desaku ini menjadi jalan utama perlintasan kendaraan dari Bandung menuju Jakarta. Banyak sekali kendaraan yang melintas, baik kendaraan umum seperti bus maupun kendaraan pribadi. Penduduk desa ini banyak yang bermata pencaharian sebagai penjual kerajinan dan makanan oleh-oleh seperti, peuyeum, manisan, dll. Banyak pula yang mempunyai rumah makan. Karena seringkali bus atau kendaraan pribadi itu singgah disini, untuk sekedar mengusir rasa lapar atau pun membeli oleh-oleh. Dan kini banyak sudah yang gulung tikar, karena banyak orang lebih memilih menempuh perjalanan melalu jalan tol. Jalan yang dikatakan bebas hambatan itu. Kuhembuskan nafas yang berasal dari keentahan. Ketidakmengertianku tentang keadaan. Demi efisiensi waktu atau entah demi apa jalan bebas hambatan itu dibuat. Yang pasti dengan keberadaannya, banyak yang terbantu dan banya juga yang merasa buntu.

Sebuah angkutan pedesaan berhenti persis di hadapanku. Aku naik berbarengan dengan seorang laki-laki paruh baya. Aku mengambil tempat duduk di samping seorang pedagang yang sibuk dengan barang dagangannya. Potongan buah-buah segar, tahu sumedang, telor puyuh, mainan anak, dan masih banyak lagi, semua dikemas dalam plastik kecil dan biasanya dijual dengan harga seribu rupiah per bungkus.

Angkutan pedesaan ini terus melaju dengan kecepatan sedang. Melalui tanjakan yang disamping kirinya berjejer rumah penduduk, sementara di sebelah kanan jalan dihiasi pohon bambu. Angkutan yang kutumpangi tiba-tiba saja berhenti. Hiruk pikuk manusia. Kulirik keluar jendela. Pantas saja, ternyata kami sampai di kawasan pasar tradisional. Ramainya orang membuat angkutan yang kutumpangi tak dapat bergerak dengan leluasa.

Lepas dari hiruk pikuk pasar.  “Kiri!”, kataku memberi kode kepada pengemudi angkutan desa ini untuk menginjak pedal rem. Aku turun setelah sebelumnya memberikan uang receh dua ribu-an kepada kernet yang sedari tadi bergelantung di pintu mobil menawarkan jasa kepada calon penumpang.

Sebelum benar-benar turun dari angkutan desa tersebut, telingaku sempat menangkap komentar sang kernet yang membentuk lagu tidak jelas, bunyinya “Lari pagi…Lari pagi…”. Mungkin karena melihat celana training, kaos, dan sepatu sport yang kukenakan.

Aku menyebrangi jalan. Menuju sebuah jalan tak beraspal. Di kiri dan kanan jalan terdapat kebun teh. Udara sejuk mulai berebut masuk kedalam paru-paruku. Hal yang terasa sangat mahal saat berada di tengah kota yang hidup dengan berjuta kendaraan. Aku menikmati tiap tarikan nafas.

Aku membagi senyum pada seorang gadis kecil yang berada di kiri jalan. Dia tengah duduk pada sadel sepeda gunungnya. Melihat postur tubuh dan raut wajahnya, kutaksir dia masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Sang gadis kecil membalas senyumku. Aku bersumpah senyum dan sapa jauh lebih murah disini.

Tiba di sebuah jembatan besar. Di bawah jembatan ini terdapat jalan tol. Banyak sekali orang disini yang selintas saja dapat ditebak, mereka baru saja selesai lari pagi. Terlihat dari wajah letih dan pakaian yang kuyup dengan keringat. Ada sekelompok anak muda yang duduk sambil meluruskan kaki mereka, sesekali mereka bertukar canda. Ada beberapa pasangan muda dengan buah hati mereka. Aku melewati kerumanan orang yang sedang beristirahat di jembatan itu.

Kali ini jalan yang kulalui seluruhnya adalah perkebunan teh. Terdengar suara burung dan berbagai makhluk lain. Indah. Terdengar harmonis. Suara mereka meningkahi suara angin yang halus. Aku mulai berlari-lari kecil. Mengikuti jalan batu yang berkelok-kelok. Suara kerikil yang beradu dengan sapatuku menciptakan suara khas.

Telingaku menangkap celotehan-celotehan yang belum kuketahui dari mana sumbernya. Menyelesaikan satu tikungan, dihadapanku tampak segerombolan remaja. Rampung sudah rasa penasaranku. Kegaduhan itu berasal dari segerombolan remaja yang sedang sibuk mengoper bola sambil berlari-lari kecil.

Aku mempercepat langkah kakiku saat aku melewati segerombolan remaja itu. Ada sebuah “tonjokan” halus yang kurasai mendarat di ulu hatiku. Menyisakan nyeri yang tak seberapa namun sedih yang dalam. Jelas kulihat beberapa dari mereka mengenakan celana pendek berwarna biru, yang aku bisa ingat dengan fasih itu adalah seragam siswa sekolah menengah pertama. Salah satu diantara mereka menggenggam hp yang sedang mengalunkan musik melayu. Yang membuat aku tertegun adalah tangan kanan anak remaja itu. Sebuah rokok putih bertengger manis disana. Dan dia dengan santai menghambur-hamburkan asapnya ke udara. 

Menyadari keberadaanku, mereka menghentikan permainan bola dan memberi aku jalan. Dan ketika aku persis ada di hadapan mereka yang masih terus bertukar canda, mereka menggodaku. Aku sungguh tak percaya, mereka menggodaku seolah aku ini seorang pramunikmat. Salah satu diantara mereka mengangkat alis, menyeringai, “Ayo bersenang-senang!”, katanya. Disambut tawa membahana yang lainnya. “Bersenang-senang sampai berkeringat. “, timpal yang lain. Lagi-lagi disambut tawa keras. Aku susuri pakaian yang kukenakan. Semua serba panjang, dan cukup longgar untuk tidak membuat bentuk badanku terlihat jelas. Aku merajuk pada Tuhan agar berkenan melindungiku. Sudut mataku mencuri pandang sekitar. Sepi. Hanya ada aku dan mereka. Aku gegas mempercepat langkah. Meninggalkan mereka yang masih terus terbahak. Tawa yang seketika membuat aku jengah dan ingin muntah.

Bertemu dengan meraka membuat aku ingin segera mengakhiri tamasya ini. Padahal sungguh hamparan hijau kebun teh masih memikatku. Sejuk udara dan nyanyian burung masih memasung kekagumanku akan kuasa Tuhan. Tapi aku tak bisa bertaruh lebih lama, keselamatanku lebih utama. Disini terlalu sepi dan jauh dari keramaian. Fikiran yang tak kubiarkan bertahan lama, segera kuusir sejuta prasangka. Kuputar arah melalui jalan berbeda, menuju jalan pulang.

Lega menghampiriku saat sudah kembali tiba di jembatan dan masih ada banyak orang disana. Ya Tuhan! Segera kukemasi suara yang nyaris keluar dari mulutku. Aku bertemu dengan dua orang remaja. Kuulangi, lagi-lagi remaja. Entah duduk di bangku sekolah menengah pertama atau sekolah menengah atas. Yang bisa kutangkap adalah dua anak remaja beda jenis.

Mereka duduk di sebelah kanan jalan yang kulalui. Benar-benar abai dengan sekitar. Remaja perempuan itu terlihat begitu manja. Tangan mereka saling menggenggam. Kukira cukup sampai disini, ternyata tidak. Tubuh mereka merapat, dan mereka kini sibuk bertukar lilitan lidah pahit. Tuhan! Sekali lagi aku mohon ampun pada-Nya, atas ketidakmampuanku berbuat apa-apa.

Seketika rasa mual menyerangku. Mual sekali melihat adegan itu. Dan aku bisa pastikan mereka masih abai dengan sekitar, sekalipun aku sudah tak menoleh ke arah mereka. Aku berjalan dengan sangat cepat. Pandanganku lurus kedepan. Meninggalkan jejak-jejak yang memasungku dalam keentahan. Ketidakmengertian tentang keadaan. Oh Desaku!
***

Cikalongwetan, 8 April 2012
~Icha Planifolia~

6 komentar:

  1. kenapa gak dilempar batu aja tuh dua remaja setan yang bertopeng manusia?
    klo dia marah, blg ajah: saya gak lmparin kmu batu qo, tp saya mlmpar setan yang ada dlm diri kalian,,klo klian gak ngerasa setan, ya jgn marah..abis itu pergi dgn santai,,
    #gaya gue bgt

    BalasHapus
  2. :)
    kebetulan gaya kita beda dindoon...heu

    BalasHapus
  3. ah,,teteh mah terlalu lmbut siih
    -_-
    aku mah udah emosi liat bocah kyk gtu

    BalasHapus
  4. :)
    kita perlu etika supaya orang tahu islam itu indah dindoon sayang....

    BalasHapus
  5. etika?
    masih hrs brsikap etika di dpn org yg sma skali gak tau etika?

    BalasHapus
  6. hmm...jujur tth bukan orang yg gape dgn sejarah...terutama sejarah hidup Rasulullah...
    tpi kita bisa banyak ambil hikmah dari kelembutan sikap Rasul...
    Paling tidak tth kira bukan lemparan batu solusinya... :)

    BalasHapus