Jika selama ini deskripsi untuk
seorang lelaki baik adalah rapi. Aku tak pernah menganggap begitu. Meski
–mungkin- banyak laki-laki rapi itu baik. Apapun itu, nyata bagiku tak begitu.
Kali pertama kita berjumpa kau anteng sekali dengan celana jeans coklat
lusuhmu dan kaos. Ransel yang tampak berat sekali setia bertengger di bahumu.
Sepatu yang tak kalah lusuh membalut kakimu.
“Fajar.”, singkat saja
perkenalanmu.
Sekarang aku mengutuki kejadian
itu. Kau tahu kenapa, Fajar? Karena setelah hari itu, wajah dinginmu memasung
asaku. Wajah dinginmu menari di atap kamarku, membuat aku lupa bagaimana cara
dibuai mimpi.
Malam ini, di penghujungnya, aku
masih setia merajuk pada Tuhan. Aku masih setia mendoakan keselamatanmu, Fajar.
Entahlah. Mengapa aku melakukan ini? Mengapa diantara dinginnya malam yang
menyucuk, aku menyengaja bangun, memilih merajuk pada Tuhan dan menanggalkan
hangatnya selimut. Apakah ini untukmu? Aku tak punya stok jawaban. Aku sungguh
tak tahu. Jadi, kumohon jangan pernah tanyakan. Biarkan aku membersamaimu dalam
doa.
***
Nafasku tertahan beberapa detik.
Tanganku masih menggenggam cangkir kopi, tapi tidak kudekatkan ke bibir ataupun
kusimpan di meja. Hanya kugenggam. Aku disergap…entah disergap apa. Bingung
sempurna membalutku. Berkali-kali kutajamkan pandangan, jelas sudah pandanganku
tak keliru.
Lelaki muda dengan celana jeans dan
kaos, ransel yang tampak berat masih setia di bahunya. Dan lelaki itu ada dalam
jarak yang sangat dekat, hanya disekat oleh meja. Jantungku nyaris terlonjak
dari tempatnya. Gegas kukemasi gugup yang nyata sudah mengepungku.
“Kamu disini, sama siapa?”, sampai
tanya itu terlontar, aku belum sepenuhnya kembali ke dunia nyata. Jiwaku masih
tersesat di tempat antah berantah. “Nis!”, kulihat tangan bergerak-gerak persis
di depan mataku. “Ternyata kamu suka nongkrong
di kafe ini juga.”, dan tanpa permisi kau sudah duduk di hadapanku.
Aku tak pernah membayangkan, setelah
hari itu kita akan bertemu lagi. Sama sekali tak pernah terlintas dalam
imajiku, kita akan duduk satu meja seperti ini.
Kegugupan itu sempurna sudah jadi milikku. Kau sungguh semena-mena membuatku salah tingkah begini, gerutuku dalam hati.
Kegugupan itu sempurna sudah jadi milikku. Kau sungguh semena-mena membuatku salah tingkah begini, gerutuku dalam hati.
Kau masih cuek membolak-balik
daftar menu. Setelah beberapa menit, kau memesan segelas kopi. Hei selera kita
sama! Jangan tanyakan kenapa, tapi aku bahagia mendapati hal ini.
Kau membagi pandanganmu : aku, lalu kota Bandung. Terus begitu. Lalu tersenyum. Tak ada yang lucu menurutku. Aku tak berminat ikut tersenyum. Keringat membasahiku. Gugup masih betah mendampingiku.
Kau menarik nafas.
Menghembuskannya. Beberapa kali kau lakukan. Sesekali kau memejam mata. Lalu
tersenyum. Keningku berlipat melihat tingkahmu.
“Kamu kenapa?”, tanyaku akhirnya,
setelah rasa heran sempurna melingkupiku.
Kau tersenyum, memandang bangunan
nun jauh disana yang terlihat seperti kotak-kotak dari sini, lalu menatapku.
Kau menatapku. Tatapanmu menghujam manik mataku. Aku benci kau melakukan itu,
sempurna kegugupan mengerangkengku.
“Kau ikuti aku.”, katamu. Kau
menarik nafas sambil memejam mata. Entah mengapa aku pasrah mengikutimu :
menarik nafas sembari memejam mata.
“Menurutmu apa yang kita hirup?”
Sejenak aku diam. Mencoba menerka
kemana pembicaraan ini akan kau bawa. Untuk kesekian kalinya aku menggerutu.
Kau ini semena-mena sekali, ini kan baru kali kedua kita bertemu, tapi kau
berbuat sesuka hatimu. Terlebih tahukah kau, kau sanggup mengaduk hatiku. Huh!
“Udara.”, jawabku kemudian.
Kau tersenyum, tampak puas dengan
jawaban yang kuberikan. “Dan kau pasti tahu kalau kita butuh oksigen kan?”, aku mengangguk. “Menurutmu udara
yang kita hirup keseluruhannya oksigen?”, kali ini aku menggeleng.
“Ada unsur lain, seperti nitrogen,
helium, karbon dioksida.”
Kembali kau tersenyum, raut puas
semakin tergambar jelas di wajahmu. “Kamu benar. Dan udara itu masuk dari
hidung, tenggorokan, baru kemudian ke paru-paru. Setelah sampai paru-paru
oksigen berikatan dengan darah, bukan?”, kau menjeda kalimatmu memberi ruang
padaku untuk merespon. Hanya anggukan yang kuberikan. “Tapi kita tidak pernah
repot untuk membedakan mana oksigen dan mana gas yang lain. Kita hirup udara
yang beragam isinya, tapi sistem pernafasan kita sanggup melakukan seleksi
otomatis.”, Kau berhenti sejenak. Memejam mata dan menghirup nafas dalam.
“Bukankah ini nikmat? Betapa Tuhan begitu luar biasa mengatur semuanya.”, kau
tutup kuliahmu yang tiba-tiba ini dengan senyum dan sejurus kemudian kau mulai
sibuk menyeruput kopi yang asapnya masih mengepul.
Aku benci kau melakukan ini.
Semena-mena sekali kau ambil perasaanku sekerat demi sekerat. Sekarang hatiku
mulai hilang beberapa bagian. Aku juga tak tahu kau menyembunyikan
bagian-bagian hatiku itu dimana. Fajar, aku benci kau melakukan ini.
Ini baru kali kedua kita bertemu, tidak sengaja pula.
Ini baru kali kedua kita bertemu, tidak sengaja pula.
***
“Orang boleh pandai setinggi
langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari
sejarah.”
Mendapat kalimat semacam itu tak ayal
aku melirik judul buku yang sedang ada dalam genggamanku : The Miracle of
Writing. Entah mengapa bobot kepalaku seperti
meningkat berkali-kali lipat, berat sekali aku untuk melihat sumber
suara.
Aku menatap tak percaya kau
tiba-tiba muncul di hadapanku. Sementara kau…tak perlu ditanya, sudah dengan
sangat semena-mena mengabaikan tatapan heranku. Dan ‘kejutan’ rusuhmu beberapa
detik lalu seolah tak pernah ada. Kau sudah asyik menyusuri deretan buku
sastra.
“Kau suka Pramoedya Ananta Toer?”,
kujejeri langkahmu. Segera kau berhenti, pun segera kau membalikkan badan.
Kukibarkan bendera putih : menyerah. Kilat matamu kembali menghujam manik mataku.
Kukira sudah lebih dari tiga puluh detik, atau mungkin sudah hampir satu menit.
Sungguh aku menyerah, Fajar. Jangan tatap aku seperti itu! Dan kau tersenyum.
Selesai.
Keterlaluan! Kau menatapku lama
hingga aku merasa tulang-tulangku dilolosi dan jawabanmu hanya senyum. Kenapa
tidak dari tadi saja tersenyum? Kau sungguh semena-mena sekali!
“Nis, sudah dapat bukunya?”, aku
hanya mengangguk. Tak berminat melayani pertanyaanmu apalagi melayani tingkahmu
yang unpredictable. “Mau kemana
sekarang?”
Aku menggeleng. “Pulang.”
“Kalau begitu kita mampir ke factory outlet sebentar, temani aku beli sesuatu.”
Kau berlalu. Tidak berminatkah kau
mendengar jawabanku? Aku belum menyetujui permintaanmu. Untuk kesekian kalinya
: Kau sungguh semena-mena, Fajar! Terlebih denyar aneh di dadaku semakin
menjadi.
Berjalan bersisian denganmu adalah
puzzle hidup yang untuk membayangkannya saja aku tak sanggup. Tentu kau menang
sekarang, sempurna sudah kau ringkus aku dalam kegugupan. Ingin sekali aku
berbisik lembut : Fajar, hatiku berdenyar. Keinginan yang berakhir dengan
kutelan ludah yang terasa pekat. Nyatanya sepanjang berjalan bersisian denganmu
tak ada sepatah kata pun yang mampu meluncur dari mulutku. Sekedar berbasa-basi
pun ku tak mampu.
Aku berhenti di area pakaian
laki-laki, sejenak aku dikabut bingung, kau terus berjalan. Aku malas menduga,
malas menerka. Kuikuti saja langkah-langkahmu. Bukankah selalunya kau begitu :
semena-mena?
Kini kau mendekatiku dengan sebuah
gaun berwarna merah maroon dalam
genggamanmu, bahannya lembut, cantik sekali gaun itu. Aku membuang nafas rusuh.
Denyar ini sungguh semakin menjadi. “Coba gaunnya, Nis!”
Tanpa bertanya dan tanpa rasa
keberatan sedikit pun kuterima gaun itu. Kuturuti permintaanmu untuk
mencobanya. Sempurna sudah gugup ini merajaiku. Denyar aneh di hatiku pun nyata
sekali menjadi karibku kini. Berdiri di hadapanmu dengan memakai gaun maroon itu adalah hal yang tak pernah
kubayangkan, tak secuil pun bayangan macam ini singgah di benakku. Aku hanya
ingin sedikit jujur : kau memang semena-mena Fajar, kiranya itu yang
menyebabkan hatiku berdenyar.
“Cantik!”, kau tersenyum puas
melihat aku dalam balutan gaun itu. “Ayo buka, aku akan bayar gaun itu!”.
Lihatlah kau masih semena-mena! Pun aku masih setia menuruti kata-katamu.
***
Lampu-lampu jalan mulai menyala.
Kesiur angin sesekali menyentuh pipiku. Taman kota selalu hidup saat hari
beranjak malam seperti saat ini. Kau sodorkan segelas es cincau. Aku
menerimanya setelah membagi senyum terbaikku –kukira- padamu.
“Gaunnya bagus, kan?”, aku mengangguk. Sejujurnya aku
heran, kenapa tak kau berikan paper bag
berisi gaun itu padaku? Sebegitu gentle
kah dirimu? Hingga tak mau membiarkan perempuan membawa barang-barang disaat
kau tak membawa apa pun.
“Sarah pasti senang.”
Aku mengernyitkan dahi. “Sarah?”
“Iya.”, Kau menyuapkan cincau ke
mulutmu, memberi sedikit jeda yang bagiku terasa sangat lama. “Sarah calon istriku,
Nis. Aku ingin hadiahkan gaun untuknya. Kejutan. Kulihat posturnya tak jauh
beda denganmu. Terima kasih ya, Nis…sudah menemaniku.”
Fajar! Kau sungguh keterlaluan! Kau
sungguh semena-mena! Kau ambil hatiku sekerat demi sekerat. Aku tak tahu kau
simpan dimana bagian-bagian hatiku. Nyatanya kau buang di jalanan.
Lampu jalan masih menyorot.
Entahlah, air yang mengembang di pelupuk mataku turut tersorot atau tidak.
Kamar Sunyi, 27 April 2012
~Icha Planifolia~
bagus :)
BalasHapusMakasih :)
Hapus