Aku datang dengan wajah belepotan bedak.
Piyama berwarna hijau muda sudah rapi kukenakan. Aroma kayu putih lengkap
merangkul badanku.
Laki-laki sepuh itu –seperti biasa-
menghabiskan senja di beranda rumah. Pada sebuah kursi berwarna merah, saking sepuhnya usia kursi itu, busanya
tak lagi empuk. Di meja –pun seperti biasa- terhidang satu mug besar kopi susu.
Laki-laki sepuh itu : kakekku.
Tangan kakek melambai, mengisyaratkan agar –seperti
biasa- aku duduk di sampingnya. Tentu saja aku menyambutnya. Karena memang
untuk itulah aku datang. Untuk duduk disamping kakek, bermanja-manja padanya,
juga menyimak banyak kisah. Kisah. Ya, kisah-kisah yang selalu membuat aku
kembali berkunjung ke rumah kakek -yang hanya tersekat jalan kecil dari rumahku-
tiap sore.
Dirangkulnya tubuhku. Dilepaskannya nafas
perlahan. Aku masih menunggu. Tatapanku adalah tatapan yang haus dengan
pengetahuan baru.
“Dulu, ada anak seumur Icha, namanya Nyai
Sekar Arum. Nyai Sekar Arum ini anak orang kaya. Orang tuanya punya harta
berlimpah. Sangat berlimpah. Sampai suatu hari saat Nyai Sekar Arum jalan-jalan
bersama kedua orang tuanya, mereka kecelakaan, kedua orang tuanya meninggal
sementara Nyai Sekar Arum selamat.”
Kakek meneguk kopi susu yang kini tak lagi
panas, hanya hangat-hangat kuku. Aku menatapnya. Diliriknya aku dan ia
tersenyum. Disodorkannya mug besar berisi kopi susu itu padaku. Aku tersenyum.
Kuraih gelas itu, kuteguk kopi susu milik kakekku : manis.
“Nah akhirnya setelah kecelakaan itu Nyai
Sekar Arum tinggal bersama bibinya. Bibinya ini galak sekali. Nyai Sekar Arum
haru mengerjakan banyak pekerjaan rumah. Disuruh menyapu, mengepel, mencuci
piring, mencuci baju, menyetrika, masak…semuanya. Semua pekerjaan rumah harus
dikerjakan oleh Nyai Sekar Arum, padahal usianya baru tujuh tahun. Nyai Sekar
Arum juga jarang diberi makan oleh bibinya. Sedih rasanya. Saat sedih begitu,
yang dilakukan Nyai Sekar Arum berziarah ke makam bapak dan ibunya.”
“Sambil menangis Nyai Sekar Arum bersimpuh
di makam ibunya. Ibu, Arum lapar. Ibu, Arum lapar. Begitu katanya sambil
menangis. Tiba-tibaada kejadian yang membuat Nyai Sekar Arum kaget sekaligus
senang. Dari makam sang ibu tumbuh pohon pisang yang seketika berbuah. Setengah
tidak percaya, Nyai Sekar Arum mengucek matanya. Tapi yang dilihatnya benar,
tumbuh pohon pisang yang sudah berbuah matang. Dianggapnya itu pertolongan. Makasih
ya, Ibu. Kata Nyai Sekar Arum sebelum memetik pisang. Dimakanlah pisang itu
untuk mengusir rasa lapar luar biasa. Begitu terjadi berulang-ulang setiap kali
tidak diberi makan, Nyai Sekar Arum akan berziarah sambil memetik pisang.”
“Tapi, Nyai Sekar Arum ini sungguh malang.
Suatu hari saat sedang ziarah bibinya memergoki dia sedang makan pisang di
makam. Bibinya marah-marah. Jadi ini yang bikin kamu tidak kelaparan?
Diseretnya Nyai Sekar Arum kerumah, dipukuli dengan sapu lidi. Ampun, Bibi,
sakit. Bibi, ampun…sakit. Nyai Sekar Arum terus memohon sambil menangis. Tapi
bibinya tidak menggubris. Terus saja dipukuli. Puncaknya, bibinya mengambil
sebuah kotak kayu. Diikatnya kaki dan tangan Nyai Sekar Arum dan dimasukkannya
ke dalam kotak kayu itu. “
Kakek diam sejenak. Diliriknya aku yang
sudah berlinangan air mata. Seolah pukulan-pukulan dan rasa lapar itu hinggap
di tubuhku. Seolah rasa sedih dan terbuang juga jadi milikku.
“Lalu sang Bibi membuang Arum ke sungai. Berhari-hari
Arum terapung di Sungai...”
[Bersambung]
Kamar Sunyi, 3 Mei 2012
`Icha Planifolia`
Tidak ada komentar:
Posting Komentar