Kamis, 03 Mei 2012

Nyai Sekar Arum #1


Aku datang dengan wajah belepotan bedak. Piyama berwarna hijau muda sudah rapi kukenakan. Aroma kayu putih lengkap merangkul badanku.

Laki-laki sepuh itu –seperti biasa- menghabiskan senja di beranda rumah. Pada sebuah kursi berwarna merah, saking sepuhnya usia kursi itu, busanya tak lagi empuk. Di meja –pun seperti biasa- terhidang satu mug besar kopi susu. Laki-laki sepuh itu : kakekku.


Tangan kakek melambai, mengisyaratkan agar –seperti biasa- aku duduk di sampingnya. Tentu saja aku menyambutnya. Karena memang untuk itulah aku datang. Untuk duduk disamping kakek, bermanja-manja padanya, juga menyimak banyak kisah. Kisah. Ya, kisah-kisah yang selalu membuat aku kembali berkunjung ke rumah kakek -yang hanya tersekat jalan kecil dari rumahku- tiap sore.

Dirangkulnya tubuhku. Dilepaskannya nafas perlahan. Aku masih menunggu. Tatapanku adalah tatapan yang haus dengan pengetahuan baru.

“Dulu, ada anak seumur Icha, namanya Nyai Sekar Arum. Nyai Sekar Arum ini anak orang kaya. Orang tuanya punya harta berlimpah. Sangat berlimpah. Sampai suatu hari saat Nyai Sekar Arum jalan-jalan bersama kedua orang tuanya, mereka kecelakaan, kedua orang tuanya meninggal sementara Nyai Sekar Arum selamat.”

Kakek meneguk kopi susu yang kini tak lagi panas, hanya hangat-hangat kuku. Aku menatapnya. Diliriknya aku dan ia tersenyum. Disodorkannya mug besar berisi kopi susu itu padaku. Aku tersenyum. Kuraih gelas itu, kuteguk kopi susu milik kakekku : manis.

“Nah akhirnya setelah kecelakaan itu Nyai Sekar Arum tinggal bersama bibinya. Bibinya ini galak sekali. Nyai Sekar Arum haru mengerjakan banyak pekerjaan rumah. Disuruh menyapu, mengepel, mencuci piring, mencuci baju, menyetrika, masak…semuanya. Semua pekerjaan rumah harus dikerjakan oleh Nyai Sekar Arum, padahal usianya baru tujuh tahun. Nyai Sekar Arum juga jarang diberi makan oleh bibinya. Sedih rasanya. Saat sedih begitu, yang dilakukan Nyai Sekar Arum berziarah ke makam bapak dan ibunya.”

“Sambil menangis Nyai Sekar Arum bersimpuh di makam ibunya. Ibu, Arum lapar. Ibu, Arum lapar. Begitu katanya sambil menangis. Tiba-tibaada kejadian yang membuat Nyai Sekar Arum kaget sekaligus senang. Dari makam sang ibu tumbuh pohon pisang yang seketika berbuah. Setengah tidak percaya, Nyai Sekar Arum mengucek matanya. Tapi yang dilihatnya benar, tumbuh pohon pisang yang sudah berbuah matang. Dianggapnya itu pertolongan. Makasih ya, Ibu. Kata Nyai Sekar Arum sebelum memetik pisang. Dimakanlah pisang itu untuk mengusir rasa lapar luar biasa. Begitu terjadi berulang-ulang setiap kali tidak diberi makan, Nyai Sekar Arum akan berziarah sambil memetik pisang.”

“Tapi, Nyai Sekar Arum ini sungguh malang. Suatu hari saat sedang ziarah bibinya memergoki dia sedang makan pisang di makam. Bibinya marah-marah. Jadi ini yang bikin kamu tidak kelaparan? Diseretnya Nyai Sekar Arum kerumah, dipukuli dengan sapu lidi. Ampun, Bibi, sakit. Bibi, ampun…sakit. Nyai Sekar Arum terus memohon sambil menangis. Tapi bibinya tidak menggubris. Terus saja dipukuli. Puncaknya, bibinya mengambil sebuah kotak kayu. Diikatnya kaki dan tangan Nyai Sekar Arum dan dimasukkannya ke dalam kotak kayu itu. “

Kakek diam sejenak. Diliriknya aku yang sudah berlinangan air mata. Seolah pukulan-pukulan dan rasa lapar itu hinggap di tubuhku. Seolah rasa sedih dan terbuang juga jadi milikku.

“Lalu sang Bibi membuang Arum ke sungai. Berhari-hari Arum terapung di Sungai...”

[Bersambung]

Kamar Sunyi, 3 Mei 2012
`Icha Planifolia`

Tidak ada komentar:

Posting Komentar