Minggu, 20 Mei 2012

Mak Dahlan Mengajarkanku...


Tawa terus berderai disela tangan yang tak henti memijat. Punggung perempuan itu mulai kemerahan menerima pijatan. Masuk angin parah, begitu tutur sang nenek yang masih bercerita sambil tertawa.

Mak Dahlan namanya. Ia begitu setia dengan pekerjaan yang dilakoninya : tukang pijat. Pekerjaan yang sudah dilakoninya sejak empat puluh empat tahun silam. Kesetiaan pada perjuangan hidup yang tak perlu lagi diragukan.


Tuhan memang memberikan peran masing-masing pada setiap manusia.  Hingga terpilihlah Mak Dahlan sebagai ‘aktris’ yang tepat untuk memerankan pekerjaan terpuji itu. Bagiku pekerjaan Mak Dahlan sangat terpuji. Betapa tidak, karenanya banyak orang terbantu kesehatannya, teringankan rasa sakitnya, tanpa perlu mengeluarkan uang banyak, karena pada kenyataannya di desa ini banyak orang yang kesulitan untuk membayar biaya berobat. Usai menikmati setengah jam pijatan tangan Mak Dahlan niscaya badan terasa lebih segar.

Menjadi tukang pijat adalah hal yang mungkin tak pernah direncanakan Mak Dahlan untuk dilakoninya. Sekitar tahun 1965 Mak Dahlan bekerja untuk sebuah pabrik tenun. “Mak teh dulu jaga mesin tenun. Bikin sarung...”, begitu tuturnya. Setiap jam istirahat banyak rekannya di pabrik yang merasa kelelahan, mulai dari merasa pening hingga pegal-pegal. Mereka kerap meminta tolong kepada Mak Dahlan untuk memijat, sekedar meringankan pegal atau nyeri kepala yang mereka rasakan. Mak Dahlan tak pernah sekalipun menolak, dengan senang hati Mak Dahlan membagi sisa energinya untuk memijat mereka. Alhasil, jam makan siang berlalu tanpa Mak Dahlan sempat menyuapkan nasi sebagai penghalau lapar.

Terlampau sering orang meminta tolong kepada Mak Dahlan untuk memijat, akhirnya Mak Dahlan mengundurkan diri dari pabrik tenun dan menjalani pekerjaan barunya : tukang pijat.

Saat pemerintah mengadakan program transmigrasi, Mak Dahlan termasuk dari sekian banyak orang yang menjadi transnmigran ke Sumatera. Ditinggalkannya kota kembang Bandung untuk menyambut lahan seluas dua hektar pemberian pemerintah. “Mak kira teh Sumatera itu kota, ternyata hutan.”, terkekeh Mak Dahlan. “Disana Mak nyangkul dan mijit, sampai sekarang terus mijit.”

Usianya kini sudah 84 tahun, namun tak ada keluh kesah. Dengan rela dijalaninya pekerjaan yang membuat ibu jarinya bengkok saking lamanya digunakan memijat. Dilakonina pekerjaan itu karena kecintaannya pada hidup, pada cucu yang menjadi tanggungannya sepeninggal putra dan suaminya.

Jika suatu hari kau tertakdir mengunjungi desaku lalu bertemu dengan seorang perempuan tua, berkebaya dan bersinjang batik, begitu setia membagi senyum bahkan tawa, serta sukarela menolong meringankan rasa sakit yang kau rasa, begitu tegar, setia pada perjuangan hidup, maka kemungkinan dialah Mak Dahlan.

Rumahku Surgaku, 20 Mei 2012
~Icha Planifolia~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar