Kamis, 17 Mei 2012

Monolog Rasa


Berkali-kali kau membuang nafas dengan kasar. Rusuh sekali. Ingin sekali aku bertanya : ada apa? Namun aku tak mampu. Aku memang tak bisa melihatmu, semata karena stok energi yang kupunya tak memadai meski sekedar untuk menggerakan kelopak mataku. Tanpa harus melihatmu aku tahu kau masih disana : duduk sembari membuang nafas dengan rusuh. Aku bisa merasakan dengan jelas kau masih di samping ranjangku.


“Nis, kenapa tak pernah mengabari kalau kamu sakit?”, hening. “Maafkan aku baru menjengukmu. Kenapa kamu menghilang empat bulan terakhir ini?”, selanjutnya hanya nafas yang kau buang satu-satu yang terdengar.

Di tengah pertemanan kita yang singkat ini, aku merasa berhutang banyak padamu, Nis. Nyatanya aku harus mengakui bahwa banyak ‘kuliah’ yang kau berikan. Kuliah tentang ketelatenan dan kesabaranmu. Hahaha (tertawa hambar). Telaten sekali kau menjadi temanku. Menemani aku yang kasar dan angkuh.

Kembali kau membuang nafas kasar.

Kau tahu, Nis? Setelah senja terakhir kita menikmati segelas cincau di taman kota, setelah kau menemaniku memilih gaun, aku mencarimu. Sayangnya, setiap kali aku menghubungimu hanya suara perempuan asing yang terdengar membosankan : nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi.

Aku online berjam-jam. Tapi tidak pernah ada bulatan hijau pada namamu yang menandakan kau pun sedang online. Awalnya aku kebingungan kemana harus kukirim undangan pernikahan untukmu. Baru kusadari betapa acuhnya aku padamu, tak pernah kutanyakan dimana alamat rumahmu. Tapi…

Kemudian aku kebingungan untuk mencari partner diskusi. Bukan, lebih tepatnya mungkin bercerita. Atau nyampah. Ah! Entahlah…Aku mencarimu karena banyak hal ingin kuceritakan. Termasuk tentang bagaimana aku dapat tetap waras menghadapi takdir.

Aku belajar banyak. Tentang cinta, kesabaran, kebahagiaan, juga tentang Tuhan. Aku ingin membaginya denganmu…yang tiba-tiba menghilang. Baru kali ini kurasa kau keterlaluan. Begitu lama menghilang dan kini kau terbaring tanpa sepatah kata pun.

“Sebentar lagi dokter akan memeriksa kondisimu. Aku pamit. Kuharap di pertemuan berikutnya kita bisa berdiskusi seperti biasanya.”

Entah mengapa aku begitu tersiksa melihat wajahmu yang pucat pasi. Seolah tak ada darah mengalir di sana. Entah mengapa aku sedih melihat selang infus dihubungkan ke tanganmu. Entah mengapa aku begitu menderita kehilangan kontak denganmu. Entah mengapa aku ingin sekali tetap disini.

Suara nafas yang kau buang dengan kasar kembali terdengar. Kemudian derit kursi yang bergeser. Hingga dalam ketidakberdayaanku, aku merasa ruangan ini begitu sepi setelah kepergianmu. Aku menggigil meski udara tidak dingin. Fajar…
***

Rumahku Surgaku, 17 Mei 2012
~Icha Planifolia~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar