Rabu, 04 Juli 2012

Dialog Pantai



Hidup adalah menemukan cinta. 
(Gol A Gong)

Gambar diambil dari sini (karena saat pergi gak bawa kamera :) )

Langit Cimahi baru saja berdandan, dari sendu keabuan menjadi ceria kemerahan. Tak ada cericit burung, tidak juga terdengar kokok ayam. Deru mesin mobil dan motor yang mulai bersahutan, itu yang disuguhkan. Badanku mengejang kegirangan. Memulai perjalanan terasa selalu mengasyikkan. Investasi tak kasat mata, itulah perjalanan. Disana ada pendidikan. Percayalah!

Aku meninggalkan kamar kosku yang tidak terlalu luas masih sekitar pukul enam lebih empat puluh menit. Kusandang ransel menuju gerbang tol Padalarang, menantikan bus. Satu-dua bus melintas di hadapanku, mengepulkan asap dan debu. Baunya berebut merayapi hidung dan saluran pernafasanku. Bau jalan yang seperti morfin : adiktif!

Kuletakkan ranselku di antara kedua kakiku. Aku mulai mencari posisi nyaman, bersandar di jok bus, melempar pandang ke luar. Tiang listrik mulai berkejaran, mengejar laju bus yang kunaiki. Bus yang kutumpangi terus bergerak sepanjang jalan tol Padalarang-Cileunyi. Untuk kemudian menempuh jalan menyusuri Tasikmalaya, Banjar, dan Pangandaran!

Ada perasaan yang tak asing saat bus memasuki Tasikmalaya. Rumah-rumah yang berderet di samping kiri jalan mengingatkanku pada desa kelahiranku. Rumah-rumah sederhana, diantaranya masih rumah panggung, menggambarkan bagaimana kondisi ekonomi masyarakat daerah ini. Sejurus kemudian mataku dimanjakan oleh sawah yang hijau terhampar. Indah sekali. Tak sadar aku tersenyum sendiri. Untuk apa? Mengagumi lukisan Sang Pelukis dengan selera seni paling tinggi.

Di suatu daerah yang entah, sudah memasuki daerah Ciamis yang pasti. Bus merangsek perlahan. Jalanan padat merayap. Tidak macet, hanya berjalan lambat. Aku masih terus melempar pandang ke luar, seolah dengan begitu aku dapat menyusup dalam nadi kehidupan warga sekitar. Mataku bertumbukan dengan sebuah pemandian umum, persis di sisi kiri jalan utama! Aku tak bisa membayangkan jika aku mandi disana. Pasti tidak bisa. Dinding kamar mandi itu hanya setinggi dada orang dewasa (tentu bukan orang dengan tinggi badan 170 cm, mungkin untuk orang dengan tinggi sekitar 150-160 cm), tidak, kurasa sedikit lebih rendah dari itu. Dan tidak berpintu. Wah, terbayang akan sangat tembus pandang!

Disana kutemukan dua bocah perempuan. Kulitnya coklat terbakar matahari. Mereka berdiri telanjang di muka kamar mandi. Di belakangnya air pancuran mengucur menjadi lukisan artistik dalam pandanganku. Wajah mereka lugu. Ketimbang mandi mereka malah sibuk mengamati bus atau kendaraan lain yang lalu lalang. Kuamati mereka. Juga bola mata yang tak sengaja bertumbukan dengan mataku. Aku tersenyum. Mereka bergeming, ragu untuk membalas senyumku. Aku tetap tersenyum. Lebih dari sekadar membagi senyum pada mereka, tapi sekali lagi Sang Pelukis ini terbukti memiliki selera seni tiada tandingan. Indah. Percayakah kau fenomena itu indah? Pergilah ke Ciamis dan temukan kamar mandi di sisi kiri jalan itu, tunggulah hingga ada bocah mandi disana, aku garansi kau akan tersenyum melihatnya. Dan seketika dirimu akan kuyup syukur. Rasa syukur inilah yang indah. Barangkali ingatanmu akan terbang pada kamar mandi di rumah dengan shower, bathtub, water heater, atau paling tidak kamar mandi yang sudah berlapis keramik dengan dinding utuh dan berpintu, meski air harus diciduk dengan gayung. Bagaimanapun itu sudah lebih baik bukan?

Bus masih melaju dengan kecepatan sedang. Lajunya semakin melambat saat semakin mendekati Pangandaran. Bukan apa-apa, jalanan mulai sempit dan berlubang. Disamping banyak terdapat tikungan dalam posisi menanjak. Teledor sedikit bus akan melibas kendaraan dari arah berlawanan saat menikung.
***
Bulan mengintip malu di balik arakan awan hitam. Kukayuh sepeda yang kusewa dengan harga sepuluh ribu rupiah. Di sepanjang jalan pantai pangandaran terdapat banyak penyewaan sepeda. Kau dapat memilih : sepeda satu jok, dua jok, tiga, bahkan empat hingga lima jok, untuk dinaiki ramai-ramai. Menuntut kekompakan dan kerja sama yang baik menaiki sepeda sepanjang itu. Yang kupilih tentu yang satu jok saja. Malam ini aku ingin menghirup bau laut dan berkeliling sekejap.

Jalanan masih ramai. Hidup. Toko-toko yang menawarkan aneka oleh-oleh masih ramai. Mulai dari kaos, kain pantai, hot pant, hingga aneka aksesoris. Tinggal pilih sesuka hati akan memberikan tanda mata apa untuk orang tersayang, teman atau keluarga di rumah misalnya.

Kukayuh sepeda di sisi kiri jalan, berseberangan dengan Pantai Barat Pangandaran. Menyusuri jalanan yang masih saja ramai. Melewati Pangandaran Beach Hotel. Kutemui pertigaan, berbelok ke kiri. Semakin meriah saja suasananya. Aneka mobil mewah memadati jalan. Sesak orang berbelanja. Aku tersenyum. Sejujurnya bukan perjalanan seperti ini yang kudambakan. Benakku mulai mereka perjalanan macam apa yang ingin kutempuh kelak. Lain waktu.

Satu jam setengah bertengger di atas sadel sepeda, nafasku mulai ngos-ngosan. Usai melihat-lihat Pasar Wisata kukembalikan sepeda yang kusewa. Dua sejoli yang sangat sabar menantikan penyewa sepedanya. Pemuda dan gadis, mereka mungkin pasangan muda atau bisa jadi mereka kakak-beradik, ah hubungan apa pun yang mereka miliki itu bukan urusanku. Yang menjadi urusanku adalah wajah dan sorot mata mereka. Menyiratkan ketegaran atas hidup yang keras. Hari merangsek malam, angin kencang menampar, nyamuk menyerbu, dan mereka masih disini : terus menyewakan sepeda yang ditukar dengan lembar sepuluh ribuan. Kuucapkan terimakasih pada pemuda yang tak kuketahui namanya itu setelah selembar sepuluh ribu berpindah tangan.

Aku melihat mereka sekali lagi sebelum berbelok menuju pantai. Tiba-tiba jiwaku bernarasi, mengutip sebuah kalimat yang kubaca dalam Novel Avonturir (Novel ke-2 dari sepuluh Novel Balada Si Roy) : Seseorang yang ingin mencapai tujuan dalam pergulatan hidupnya, bukan mereka yang tidak pernah jatuh. Akan tetapi, dia berusaha untuk bangkit berdiri setelah jatuh. Ya, begitulah seharusnya kita melihat hidup yang serba keras dan kompetitif ini. Muda mudi itu usianya mungkin lebih muda dariku, tapi mereka perlu perjuangan panjang untuk sekadar –mungkin- menebus sepiring nasi. Tiba-tiba aku merasa kerdil. Kelebatan wajah adikku semata wayang melintas, juga tentang masa depannya yang tiba-tiba terasa disandangkan dipundakku, seperti ransel ini. Hidup yang serba keras dan kompetitif, akan kumenangkan itu!

Kubuka sepatuku. Membiarkan sensasi pasir yang melesak saat terinjak terasa jelas di kakiku. Pantai ini gelap. Hanya ombak yang berwarna putih yang tampak. Kutengadah, bulan masih menaungiku. Aku berselonjor begitu saja di atas pasir. Membiarkan pasir-pasir yang mungkin asin karena butiran garam itu bergesekan dengan celana jeansku. Jilbabku berkibar-kibar. Anginnya kencang. Tapi tidak dingin. Bahkan pasir yang seharian ditimpa sinar matahari itu terasa hangat. Kalau tidak percaya coba saja, ke pantai malam hari dan berselonjor, hangat.

Seorang gadis dengan usia yang kuterka lebih muda dariku membagi senyum. Mengambil tempat di samping kananku. Turut duduk berselonjor.

“Betul kata temanku, kalau tak ada uang untuk menyewa hotel tidur saja di pantai, hangat.”, katanya membuka percakapan. Aku tertawa mendengarnya. Boleh juga, aku membatin sembari tersenyum geli. Tapi losmen murah sudah disewa, dan aku akan tidur disana malam ini.

“Sekarang pantainya jadi sangat ramai.”, kataku lebih tampak seperti pengumuman.

“Iya, lama-lama duduk di pasir begini saja mungkin akan kena tarif.”, timpalnya sembari mengamati pantai yang sudah di eksploitasi habis-habisan. Aku tertawa hambar, merasa ada gulana yang dititipkan dalam kalimat gadis itu.

Pangandaran. Sebuah kecamatan, kadang disebut kota kecil, terletak sekitar 29 km di  selatan Ciamis ini cukup terkenal untuk berselancar. Besok aku akan mencoba bermain ombak disini. Sekali lagi aku tengadah ke langit. Ada sesuatu yang terasa hening. Hening sekali. Sebuah cinta yang sepi, kepada hidup, kepada alam. Untuk kesekian kalinya cinta ini merambatiku. Cinta yang sepi. Sulit sekali kuekspresikan.

Ombak terus saja melahap pasir. Serupa barisan gigi putih yang cantik tapi siap menerkam. Tasbih berkali-kali meluncur dari bibirku. Jika ombak itu melahapku, tamatlah aku! Sekali lagi tasbih dan kali ini beserta tahmid kuucapkan. Kesempatan hidup sungguh cintaNya yang harus dibalas. Bagaimana caranya?



Kamar Sunyi, 4 Juli 2012
~Icha Planifolia~


2 komentar:

  1. Jadi kemarin ke Pangandaran judulnya solo traveling nih? ;) saya terakhir ke sana SMP, sudah berapa tahun tuh hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ke Pangandaran tanggal 30-1 juli, Enggak solo travelling sih Mbak...:)
      Wah lama juga ya...
      Ayo kita backpacking bersama Mbak Sash :D

      Hapus