Selasa, 18 September 2012

Geng Motor : Mereka Butuh Role Model Yang Tepat

Sebut saja namanya Gadis (18), menurut ibunya Gadis adalah anak yang sangat polos. Lingkup pergaulannya hanya  dengan teman sekitar rumahnya. Gadis mengira bahwa geng motor adalah komunitas yang akan bisa menjadi tempatnya mengaktualisasikan diri dan mengisi waktu luang. Maka, ketika diajak untuk bergabung dengan salah satu geng motor, Gadis sama sekali tidak keberatan. Tentu saja Gadis tidak pernah menduga bahwa nasib naas menantinya. Dengan dalih “ospek” jika ingin menjadi anggota resmi geng motor tersebut, Gadis harus merelakan keperawanannya direnggut oleh empat orang anggota geng motor secara bergantian.

Gambar diambil dari sini


Ini hanya salah satu berita yang terserak diantara puluhan atau bahkan mungkin ratusan kasus lain. Geng motor menjadi momok bagi masyarakat. Pencurian kendaraan bermotor, penganiayaan, hingga pembunuhan konon dilakukan oleh sekelompok anak muda yang mengaku anggota geng motor.  Kebanyakan dari mereka masih usia sekolah, remaja.

Geng adalah kelompok informal setempat  yang dibentuk secara spontan oleh  remaja untuk mengadakan “masyarakat” yang sesuai dengan kebutuhan psiko-somatis mereka. Mereka ingin lepas dalam dominasi macam apapun, misalnya dominasi orang tua, guru, bahkan mungkin pemerintah sekalipun. Mereka menyusun “pemerintah” sendiri, membuat aturan sendiri, meniadakan kekuasaan ekstern (diluar kelompok mereka). Dunia geng diwarnai dengan semangat avontir-bertualang dan rasa ingin tahu.

Dalam tinjauan Psikologi diakui bahwa anak yang tak pernah nakal ialah anak yang abnormal. Tentu saja dengan batasan tertentu. Masih dalam tinjauan Psikologi, dikenal kenakalan pribadi dan kenakalan sosial. Kenakalan sosial menjelma melalui geng. Memang sangat mungkin terdapat penyimpangan, dimana kenakalan berubah menjadi tindak kriminal. Kiranya media yang menayangkan tindak kekerasan serta sinetron atau film –yang mempertontonkan penolakan-penolakan remaja terhadap peraturan, menunjukan pelanggaran etika, menumbuhkan klaim masa remaja adalah masa hura-hura, menceritakan “perjuangan” cinta yang tidak semestinya- mempunyai andil besar dalam membentuk opini dalam benak remaja. Mereka melihat, mengingat, hingga menyimpan semua informasi itu dalam otak bawah sadar mereka, yang dalam kondisi tertentu dapat segera muncul ke permukaan dalam bentuk sikap ‘meniru’. Dari mana mereka belajar membunuh? Game online bisa dengan senang hati menjadi guru kekerasan bagi mereka. Dari mana mereka belajar tidak menghormati orang tua? Pemberitaan media tentang public figure yang kabur dari rumah tersebab keinginannya tak dipenuhi orang tua dapat menjadi model bagi mereka. Dan masih banyak contoh lain.

Menunjukan role model yang tepat dapat menjadi salah satu solusi. Kiranya kita sangat perlu bercerita tentang masa lampau. Berkaca pada para pemuda yang di usia remaja mengukir prestasi yang terus dikenang hingga berbagai generasi.  Sebut saja Sultan Muhammad Al-Fatih (sultan pada masa kekhalifahan Turki ustmani) misalnya, yang di usia 18 tahun sudah menjadi jendral, memimpin ribuan umat muslim untuk menaklukan konstantinopel –kota yang pada masa itu “tak tertembus”- dan menggantinya menjadi Istanbul. Tentu bukan sebuah kebetulan Al Fatih tumbuh menjadi remaja yang perkasa dan sholeh, melainkan serangkain pendidikan yang diberikan ayah dan gurunya menjadi faktor penentu.

Kisah tersebut memang terlalu singkat, namun kita bisa mengambil pelajaran : ada orang tua dan guru dibalik prestasi seorang anak, begitu juga dibalik kenakalan seorang anak. Mendampingi anak-anak yang sedang beranjak remaja adalah sebuah keniscayaan. Mendampingi dalam memilih tayangan televisi  yang mereka saksikan, mendampingi dalam memilih buku/majalah yang mereka baca, juga mendampingi dalam menetapkan dengan siapa meraka bergaul. Pastinya kita semua mengamini bahwa proses pendampingan ini harus dilakukan dengan ‘lembut’, menjadi sahabat yang menyenangkan dan cerdas adalah hal yang tidak bisa ditawar harus mampu dilakukan orang tua, juga guru sebagai orang tua kedua.

Sosok-sosok pemuda yang mengukir prestasi besar di usia remaja perlu diperkenalkan kepada putra putri kita. Sehingga mereka memiliki ‘arah’ untuk mengaktualisasikan keberadaan mereka. Bukankah ‘hobi’ remaja adalah meniru? Ini menjadi pekerjaan rumah bersama : orang tua, guru, pun pemerintah yang menetapkan kurikulum pendidikan. Kembali kepada kalam Allah dan berkaca pada para pemuda sholeh akan menjadi salah satu solusi, insya Allah. Wallahu’alam.

[Icha Planifolia]
Penghujung bulan April....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar