Minggu, 27 Mei 2012

Dua Sahabat



Sabtu (26/05), hari baru beranjak dhuha, untuk kali kesekian Pak Pos datang ke rumahku. Mengantarkan untukku sebuah paket. Dari waktu ke waktu isi paket itu tetap sama : buku. Saat tidak memungkinkan mengunjungi toko buku seperti beberapa waktu terakhir ini, aku kerap membeli buku secara online. Dan untuk kali kesekian, aku selalu sumringah menerima paket baru. Buku baru. Berarti pintu baru untuk mengunjungi dunia, meraup hikmah, merampungkan cita-cita untuk menjadi perempuan cerdas, istri dan ibu cerdas. Tenggelam di balik banyak buku itu sungguh mencerdaskan.

Kali ini aku berkesempatan menyelami lautan hikmah yang dirawi oleh kang Topik Mulyana. Dalam genggamanku buku "Melepas Dahaga dengan Cawan Tua" sudah tersenyum
manis. Aku menyeksamai beberapa komentar terlebih dahulu, aku tersenyum saat membaca komentar penulis favoritku, Tasaro : "Topik Mulyana tak pernah kecentilan dalam bersastra.Diksinya terasa gurih tapi berfilosofi...". Setelah rampung membaca, kiranya itu benar belaka. Berikut kubagikan sedikit -bukan kisah paling berkesan, karena seluruh isi buku ini mengesankan-, ini hanya sedikit yang kuharap dapat kita petik hikmah bersama. Dua Sahabat, begitu judul penggalan kisah ini. Selamat menyimak!

Alkisah, Gunawan dan Suryana adalah dua karib yang sudah sekira tujuh tahun berkawan. Mereka bertemu saat tergabung dalam sebuah komunitas seni. Rindu Rasa Rindu Rupa, demikian nama komunitas itu. Sering disingkat dengan 4R. Jika diucakan dalam bahasa Indonesia akan berbunyi "empat er". Dan dalam bahasa Inggris "four ar". Karena kini zaman postmodern yang salah satu definisinya zaman campur-baur, dan demi kepraktisan juga, mereka yang tergabung dalam komunitas ini menyebut diri mereka "Forer". Kegiatan mereka adalah mengikuti dan menyelenggarakan diskusi, workshop, pameran foto dan lukisan, menyaksikan film dan teater, dan 1003 acara lainnnya yang berhubungan dengan kesenian. 

Demikianlah, Gun dan Sur adalah dua orang anggota Forer yang paling rajin dan senantiasa bersama. Jika Gun hadir, Sur pasti hadir. Jika Sur absen, Gun juga demikian. Namun, mereka adalah yang paling rajin dalam mengikuti acara-acara itu, terelebih jika acaranya diselenggarakan Forer. Dan diantara anggota-anggota (sering disebutnya "keluarga") yang lain itu, Gun dan Sur dua anggota yang paling lama bertahan saat yang lain sudah "berguguran", entah karena kembali ke kampung halaman setelah lulus kuliah, bekerja di lain kota, menikah, atau sebab lainnya. Atas dasar itulah, saat acara rapat kepengurusan (mereka menyebutnya PP, singkatan dari Penghabisan dan Penahbisan), mereka berdua menjadi calon dwitunggal. Gun diusulkan menjadi ketua dan Sur menjadi sekum. Sur setuju. Namun, Gun menolak mentah-mentah dengan alasan ia bukan orang yang tertib dan tidak bisa menertibkan orang lain, tipe orang dibelakang layar, simbol dirinya silet bukan tombak, dan alasan-alasan lainnya yang tak kalah puitisnya. Ia bersikeras bahwa yang cocok jadi ketua adalah Sur. Sur menyanggupi dengan syarat sekumnya Gun, Divisi teater dan Film diisi oleh Ana Bilqis, Divisi Musik oleh Euis Garputala, Divisi Rupa oleh Opik Lasut, Divisi Sastra oleh Dedi Karmina, dan Divisi Filsafat oleh Asep Malikul Qudus. Sur mengemukakan alasan yang sangat diplomatis, tapi sebenarnya ia dan Gun sama-sama menaksir Ana Bilqis. Jika suatu saat Ana berhasil didapat oleh salah satunya, maka yang lain akan menunjukan cintanya pada Euis Garputala. Adapun pemilihan untuk divisi lain itu untuk kamuflase saja. 

Demikianlah, sejak terpilih menjadi pengurus utama, mereka kian kompak. Forer pun kian maju. Hubungan dengan komunitas seni lainnya semakin baik. Akses ke gedung-gedung atau tempat-tempat kesenian lainnya semakin luas. Demikian juga, budayawan-budayawan besar di negeri ini hampir semua sudah mereka sambangi, baik penyair, pelukis, pemusik, aktor, maupun filosof.

Tersebutlah perkataan, Forer mendapatkan undangan untuk menghadiri acara pembukaan pameran lukisan di Galeri Nasional, Jakarta. Namun, undangan hanya berlaku bagi empat orang. Gun dan Sur terpaksa tidak mengikutkan Euis Garputala, karena sebagai kepala Divisi Rupa, Opik Lasut tidak mungkin tidak diikutkan. 

Mereka melakukan perjalanan ke Jakarta dengan menaiki kereta bisnis. Sepanjang perjalanan, mereka membincang hal-hal yang membuat iri kaum muda seumuran mereka. Dari mulai puisi tradisional hingga filsafat neoeksistensialisme, dari Imam Hanafi sampai Salvador Dali, dari ayat Quran hingga Also Sprach Zarathustra. Dus selipan humor-humor cerdas dan nakal dari keempatnya. Tawa membahana kadang memenuhi ruangan gerbong itu. Kadang Gun, Opik Lasut, dan  Ana Bilqis pergi ke luar gerbong untuk merokok. Sebetulnya itu memang bukan gerbong ber-AC dan beberapa penumpang lain ada yang merokok di tempat duduknya, tapi mereka bertiga menghormati penumpang yang tidak merokok, semisal Sur.

Tak terasa, kereta telah sampai di Stasiun Gambir. Untuk mencapai Galeri Nasional, mereka tinggal menyebrang Stasiun Gambir. Di pelataran galeri, terlihat banyak calon pengunjung. Mereka bergerombol-gerombol. Ada yang sedang berfoto di depan tugu utama, mengobrol, menikmati asap rokok, dan lainnya. Sebagaimana citra kaum seniman yang sering kita dengar dan saksikan, pakaian mereka pun (atau setidaknya sebagian besar dari mereka) tampak unik, eksentrik.

Saat mereka tiba, acara utama masih satu jam lagi. Mereka berempat memanfaatkan kesempatan itu untuk berbincang dengan beberapa tokoh kesenian yang kebetulan hadir, seperti Jim Supangkat, Goenawan Mohammad, dan Jean Couteau. Jean adalah yang paling akrab. Pria Prancis itu tampak senang diajak berbincang oleh anak-anak muda itu.

Tak terasa, acara pun tiba. Hanafi, sang pelukis, membuka pintu galeri utama, tempat lukisan dan karya-karya instalasinya dipamerkan. Maka, dalam beberapa saat saja, penuhlah ruangan itu oleh para undangan yang sedari tadi sore menunggu. Demikian juga dengan keempat sahabat. Mereka pun menikmati satu demi satu karya yang dipamerkan itu. Tentu saja, yang paling menikmati adalah Opik Lasut.

"Nongkrong, yuk!" ajak Ana Bilqis seusai mereka mengelilingi seantero ruangan.

"Sambil ngopi, lah. Kita ngambil minuman dulu...tuh, di situ," Opik Lasut menunjuk pada beberapa antrean orang-orang yang hendak mengambil minuman dan camilan.

"Kalian ngambil minum, aku ngambil camilan!" ujar Ana Bilqis. 

"Aku juga, biar banyak!," Opik Lasut menimpali sambil menyeringai.

"Sialan!" ujar Gun dan Sur hampir bersamaan.

Gun mengambil antrean di sebuah stand yang paling panjang. Meja stand itu memang tampak sangat bagus dan mewah dibanding stand yang lainnya. Didekor sedemikian rupa sehingga pengantre mengambil minuman itu melalui semacam gerbang mungil yang bagian atasnya terdapat tulisan.

"Heineken itu apa, Gun?" tanya Sur yang turut mengantre di belakang Gun.

Gun menyeringai, lalu sembari memutar kepalanya, ia berkata, "Cikiruh*."

Seketika raut wajah Sur berubah, "Aku kopi aja, ya," sembari menyeberang ke antrean sebelah.

Demikianlah, kedua sahabat itu mengantre di meja minuman yang berbeda. Meski tempat antrean Heineken lebih panjang, proses pengambilan minuman lebih cepat karena keberadaan para penjaga yang cekatan mengambil minuman itu dan menyerahkannya kepada si pengantre. Berbeda halnya dengan tempat kopi di mana si pengantre harus mengambil sendiri, menggulai sendiri, dus krim bagi yang suka. Belum pula masih harus dicicipi, kalau-kalau kurang manis. Singkatnya, meski antrean kopi lebih pendek dan jarak antara Gus dan Sur pada awal mengantre cukup jauh, pada saat tepat di muka meja, mereka berbarengan.

Namun beberapa saat sebelum mereka mendapatkan minumannya masing-masing, dengan cara yang hanya bisa dijelaskan kaum astronom, berbutir-butir benda dari arah langit meluncur tepat ke arah kompleks Galeri Nasional. Saat benda-benda itu menabrak apa yang ada di bawahnya, timbullah ledakan yang menimbulkan suara menggelegar dan seketika menebarkan hawa panas. Puluhan orang mati seketika dengan kondisi jasad mengenaskan.
***
Sur terbangun dengan perasaan yang sangat asing. Ia membuka mata, namun yang tampak hanya kegelapan yang selama ini belum pernah ia lihat sebelumnya. Ia meraba muka, dada, dan bagian-bagian tubuh lain yang sanggup digapai tangannya. Tak sehelai kain pun menutupi tubuhnya. Sur bingung, panik, dan ngeri yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Halooo! Ada orang disini?" Sur mencoba meamnggil-manggil entah siapa. Ia melakukan itu berulang-ulang. Namun, tak ada tanda-tanda bahwa ada orang lain di sekitar situ. Suasana tetap tak berubah : gelap dan senyap yang sempurna.

Sur berdiam diri sekian lama sembari mencoba menenangkan perasaan yang berkecamuk.

Perlahan namun pasti, kegelapan itu berkurang. Tepat di depan pandangannya, Sur melihat setitik cahaya putih. Titik cahaya itu semakin lama semakin membesar dan mendekat ke arah dirinya. Ia begitu takjub hingga hanya bisa bergeming. Setelah teramat dekat dengan dirinya, barulah diketahui bahwa cahaya itu sebuah lentera aneh yang dipegang seseorang. Pancaran cahaya itu sedikit menerpa wajah orang itu cukup jelas. Sur melilhat dengan amat takjub, wajah itu amat mirip dirinya.

"Kamu sudah mati, Sur," orang itu berujar datar...juga dengan suara yang amat mirip dengan suaranya.

Tentu saja Sur terperanjat. Ia mencoba mengingat-ingat peristiwa terakhir yang ia alami. Ia sedang mengantre di sebuah meja kopi. Lalu ia teringat bahwa kepalanya diterjang sebutir benda, mungkin batu. Ia teramat sakit, panas, lalu gelap.

"Ya, ini di alam kubur," ujar orang yang mirip dirinya itu, seakan bisa membaca pikirannya, "Saya adalah amalanmu."

Sur mencoba mengikis kengerian dan keasingan yang dirasakannya. Ia memerhatikan orang yang mengaku amalannya itu dengan saksama. Orang itu memang amat mirip dirinya. Wajahnya, perawakannya, nada suaranya, dan gerak-geriknya. Ia mengenakan pakaian semacam gaun yang tak jelas warnanya dan membawa lentera yang apinya bulat dan tidak bergerak-gerak. Mirip petromaks, namun tanpa kaca. Diantara bagian atas bawahnya tidak tampak apa pun selain api.

"Sesaat lagi Munkar dan Nakir akan mewawancaraimu. Bersiaplah memberikan jawaban terbaik," ujarnya kembali tanpa bisa ditanggapi Sur. Begitu selesai berujar, ia mundur perlahan. Lalu, menghilang dan suasana pun kembali gulita.

Namun, keadaan itu tak lama. Dua cahaya yang lebih besar dan terang kini menerangi dan mendatanginya dengan cara yang sama seperti yang pertama. Tampaklah dua wajah terang, putih, namun tidak pucat, mengenakan gaun yang lebih tertutup dengan model pakaian yang belum pernah ia lihat selama ini.

"Siapa Tuhan Tuan?" tanya sosok yang sebelah kiri.

"Allah," Sur menjawab lancar. Baru kali ini ia dapat menggerakan bibirnya.

Lalu, terjadilah prosesi tanya jawab yang selama ini kita ketahui dari kitab-kitab riwayat mengenai hal-hal di luar nalar namun nyata : kematian, alam kubur, malaikat, ruh, dsb.

Arkian, Sur dapat menjawab semua pertanyaan itu. Sesi wawancara pun usai. Kedua sosok yang diyakininya sebagai Malaikat Munkar dan Nakir itu undur diri dengan cara yang amat takzim.

Setelah itu, sosok yang mengaku amalannya kembali menghampirinya. Kali ini dengan wajah sumringah.

"Selamat, Anda lulus di prosesi pertama ini. Selanjutnya, Anda akan beristirahat di 'Iliyyin menunggu prosesi selanjutnya. mari saya temani," begitu selesai berujar, sosok itu meraih tangan Sur.

Lalu, dengan cara yang hanya diketahui orang-orang yang dikehendaki Tuhan, Sur dan sosok itu mengapung meninggalkan tempat berjejak. Sur sepintas melihat jajaran papan di sampingnya. Lalu, ia merasa seolah menembus sesuatu semacam atap. Cahaya dari lentera yang dibawa sosok itu membuatnya dapat mengetahui bahwa apa yang tengah ditembusnya itu adalah tanah. Ia melihat beberapa ekor cacing, kota semut, rumah undur-undur, tulang-belulang, berbagai macam akar tanaman.

Pada saat hendak menembus lapisan tanah paling atas, ia sedikit kesulitan. Genggaman sosok amalannya sempat terlepas. Kemudian, amalannya itu membantunya keluar dari lapisan tanah untuk menuju lapisan udara. Ia menarik kedua tangan Sur. Lalu menyelam ke lapisan tanah untuk mendorong kaki Sur. Sur pun berusaha sekuat tenaga agar keluar dari sana. Akhirnya, dengan susah payah, Sur berhasil keluar dan membubung di lapisan udara bersama amalannya itu. Ia terus membubung tanpa alangan apa pun. Lalu, ia melihat ke arah bawah. Pemandangan yang amat menakjubkan dirinya : hamparan bumi dari arah atas. Keinginan untuk naik pesawat agar melihat bumi dari atas dengan mata sendiri kini lunas sudah. Ia terus membubung. Hamparan bumi pun kian lama kian tampak mencembung. Angkasa kian redup. Lalu, ia tiba di semacam pintu gerbang putih yang teramat besar dengan gaya arsitektur dan ornamen yang belum pernah ia lihat di gedung kesenian mana pun yang pernah ia kunjungi. Amalannya mengetuk pintu.

"Assalamu'alaikum!" serunya.

"Wa'alaikum salam! Siapa itu?" jawab suara menggelegar dan menggetarkan sekujur jiwa Sur.

"Muhammad Afif Suryana! Saya mati oleh terjangan serpihan meteor! Di Galeri Nasional, Jakarta, Indonesia! Ketika sedang mengantre kopi! Lulus sesi wawancara alam kubur dengan hasil cukup memuaskan!" jawab amalannya lantang dan lancar.

"Hmm...," suara di balik gerbang kembali terdengar, "Tunggu tiga menit lagi, saya verifikasi dulu catatannya."

Kemudian sunyi sesaat. Amalan Sur mengajak Sur duduk di sebongkah meteorit yang mangapung tak jauh dari situ.

"Kita harus menunggu selama tiga hari. Waktu sakral berbeda dengan waktu profan," amalannya menginformasikan, "'Iliyyin ada di langit ketiga. Ini baru langit pertama."

Sur mengangguk. Kemudian, ia duduk sambil menikmati pemandangan angkasa luar. Berkali-kali ia memuji dan mengagungkan Tuhan. Keindahan ini tak pernah ia lihat pada lukisan mana pun, baik yang klasik maupun yang kontemporer. 

Tak terasa, dua hari waktu profan pun berlalu. Ia masih saja takjub dengan pemandangan angkasa luar itu, dirinya yang tengah duduk di atas sebongkah asteroid, dan terutama gerbang putih dan aneh itu. Senyampang matanya menikmati lanskap-lanskap itu, dua sosok meluncur dari arah bumi menuju tempatnya kini berada.

"Gun?" Sur terpana begitu dua sisik itu telah berada di hadapannya.

"Halo, kawan," ujar Gun berseri, "Rupanya perkawanan kita dunia-akhirat."

"Sori, kok kamu bisa kesini?" tanya Sur masih terpana, dan tak bisa menyembunyikan perasaan girangnya.

"Ha, soal itu, kau tanyalah kembaranku ini," ujar Gun sembari menunjuk dengan jempol sosok di sampingnya yang amat mirip dengan dirinya; kemungkinan besar amalan Gun karena ia juga mengenakan gaun dan membawa lentera yang aneh. Namun, lenteranya sedikit lebih redup ketimbang lentera yang dibawa amalan Sur.

"Ingatkah Saudara sesaat sebelum Saudara dan Saudara Gun meninggal?" sosok yang mirip Gun memulai penjelasan, "Saat sedang mengantre hendak mengambil minuman buruk, Saudara Gun merenungi dosa-dosa yang selama ini beliau lakukan. Ingin sekali beliau menyudahinya. Beliau sebenarnya kagum pada saudara Sur yang amat konsisten tidak melakukan dosa, termasuk menjauhi minuman buruk. Ingin beliau mengikuti Saudara Sur menjadi seniman yang diridai Tuhan. Karena niat Saudara Gun sungguh-sungguh, Rakib mencatat niatan Saudara Gun dan Tuhan melimpahkan pahala dan ampunan kepada beliau. Pada sesi wawancara tadi, saudara Gun nyaris tidak lulus dan hendak ditahan di penjara Sijjin. Namun, niatan itu datang bersama saya dan membebaskan Saudara Gun dari penahanan di Sijjin dan memutuskan untuk dapat beristirahat di 'Iliyyin. Maka, sampailah kami di sini."

"Dan Anda, Saudara Sur," amalan Sur turut berujar. "Anda punya niatan yang sebaliknya. Saat sedang mengantre hendak mengambil minuman yang cukup baik, Anda didera rasa penasaran ingin mencicipi minuman buruk. Anda sedikit menyesali saat Anda memutuskan berpindah antrean. Anda berpikir, tak ada salahnya mencicipi dengan dalih berani kotor itu baik. Anda pun berniat, akan turut mencicipi minuman buruk Saudara Gun jika berkumpul dengan kawan-kawan Anda yang lain. Untunglah, Atid belum mencatatnya karena niat buruk hanya berdosa saat dilakukan secara nyata. Meski demikian, niatan Anda itu tetap menjadi perintang rahmat Tuhan walaupun kecil. Itulah sebabnya, tadi Anda mengalami kesulitan saat hendak keluar dari lapisan tanah."

Gun dan Sur bersyukur dengan keadaan yang mereka alami kini. Seperti ketika di dunia, mereka berdua bersicakap tentang hal-hal yang mereka sukai, minus hal-hal yang tak disukai Tuhan.

Keesokan harinya, Gerbang Langit 1 terbuka. Amalan Sur mengajak Sur memasukinya. Penjaga gerbang menerima catatan dari amalan Sur dan mencocokkannya dengan catatan yang dipegangnya. Sur pun dipersilakan melanjutkan ke Langit 2. Mestinya, Gun menunggu dua hari lagi. Namun, karena kasih sayang Tuhan yang teramat besar, mereka diperbolehkan memasuki Gerbang Langit 1 dan melanjutkan perjalanan secara berbarengan.

Akhirnya, setelah menjalani serangkaian prosedur, mereka tiba di Taman 'Iliyyin. Konon, kata pemilik cerita, mereka pun hidup berbahagia di sana untuk jangka waktu yang hanya diketahui Tuhan.

(Taken from "Melepas Dahaga dengan Cawan Tua" : Dua Sahabat, karya Topik Mulyana)


Rumaku Surgaku, 27 Mei 2012
~Icha Planifolia~

*) Cikiruh : Air keruh (bhs. Sunda), ungkapan sebagian pemuda di Bandung untuk menyebut minuman beralkohol.
 

1 komentar:

  1. Assalamualaikum, Cha. Apa kabar? Kemana saja?
    eh, kamu sudah ijin upload cerpen ini ke yang empunya?
    hehehe

    BalasHapus