Sabtu, 09 Juni 2012

Adikku dan Jilbabnya


“Kalau sudah besar nanti boleh gak aku gak pakai jilbab?”
Bola mata bening itu masih menunggu. Sang ibu yang diberi pertanyaan tiba-tiba serupa itu masih menimbang, kiranya jawaban seperti apa yang harus dikemukakannya pada gadis kecil itu. Dalam balutan seragam putih-merah, rambut berkeringat dan bau matahari, gadis kecil itu bertanya dengan segenap kepolosannya.
Sang ibu akhirnya mengangguk. “Boleh.”, katanya kemudian.
“Betul, Ma? Aku boleh gak pakai jilbab kalau sudah besar nanti?”, matanya mengerjap, menatap jilbab sang ibu, menatap bola mata sang ibu, terus begitu bergantian.
Sang ibu mengangguk sekali lagi, kali ini jauh lebih mantap. “Kalau kata Mama boleh gak pakai jilbab, hmm…kalau kata Allah gak tahu…”
Gadis kelas tiga SD itu termenung. Namun berkali-kali ditatapnya sang ibu, tak ada lagi kalimat meluncur dari sana. Hanya senyum terus terpasang. 
***
Kini, aku selalu kuyup syukur setiap pagi menjelang. Akan kusaksikan adikku bersiap berangkat sekolah. Ia duduk di kelas empat sekolah dasar kini. Rok rempel merah sepanjang mata kaki dan kemeja putih berlengan panjang itu membuatnya tampak sedikit kerepotan. Hanya tampak, nyatanya Ia tak pernah merasa kerepotan. Ia akan mematut diri di cermin sembari memasang jilbab putihnya,  blus…jilbab langsung, tak perlu peniti, jarum, atau bros. Selesai sudah ritual paginya.

Bapak dan mama pun kurasa jauh lebih kuyup syukur. Kesabaran mereka membuahkan hasil. Meski ini baru awalnya, masih ada serangkaian proses panjang yang harus dilalui mereka dalam membersamai kami, kedua anaknya. Pengalaman pertama menjadi orang tua tentu bukan hal yang mudah bagi mereka. Namun, keseriusan mereka untuk terus belajar dari setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup kami, nyata mulai berbunga, barangkali sekejap lagi berbuah ranum. Aamiin, semoga.

Jika dulu mereka mendidikku serupa menggenggam pasir, terlalu keras bahkan, lebih dari sekedar menggenggam. Maka siapa pun tahu, pasir akan menyusup melalui celah-celah jari, terus mencari peluang untuk keluar dari genggaman. Beruntung aku bukanlah pasir yang gigih mencari peluang keluar dari genggaman. Aku adalah pasir yang tersegera merasa lelah saat menyusupi celah-celah jari, maka pasrahlah aku dalam genggaman, yang nyatanya membuatku sangat ‘aman’ dari lingkungan sekitar.

Adikku mendapat perlakuan berbeda. Orang tuaku jauh lebih ceria dan terbuka mendidiknya. “Mama belajar banyak dari pola-pola saat mendidikmu,” begitu kata mama suatu ketika. Sehingga kini mereka serupa sedang bermain layang-layang. Begitu luwes tarik-ulur. Adikku merasa punya ruang yang cukup untuk terbang, berekspresi, dan memutuskan ‘arah angin’ yang mana yang layak untuk membawa dirinya.  Aku turut bahagia untuk itu. Aku menjadi semacam media ‘uji kelayakan’ pola pendidikan yang mereka lakukan, itu tak jadi soal. Toh, bagaimana pun hidupku hari ini adalah hidup terbaik yang Allah berikan, dititipkan pada mama dan bapak adalah kesempatan belajar terbaik yang kumiliki.

Termasuk belajar mengarahkan adikku yang menurut teori psikologi populer, seorang koleris-sanguinis. Tantangan tersendiri untuk menaklukan sang koleris. Ketelatenan kedua orangtuaku bermuara pada kesadaran tingkat tinggi, tanpa ada ketegangan, tanpa ada paksaan. Dibimbingnya adikku untuk terus belajar. Dibujuknya adikku untuk bersedia rutin mengaji. Diperlakukannya adikku selayaknya manusia yang memiliki keinginan dan pendapat, maka diskusi-diskusi kerap terjadi. Bukan sebuah diskusi kaku, namun diskusi hati penuh canda.

 “Ma, ternyata kata Pak Ustadz perempuan itu harus pakai jilbab, kalau nggak percuma saja sholat.” begitu ungkap adikku suatu ketika. Alhasil, kebalikan dari ‘proposal’ sebelumnya, kini adikku mengajukan ‘proposal’ baru : membeli seragam sekolah panjang dan baju yang panjang-panjang, juga jilbab (disebutnya sebuah merek jilbab). 

***
“Ini bagus gak?”, mata hitam adikku mencari dukunganku. Kuseksamai ia dalam balutan jeans hitam longgar dan kaos sepanjang lutut dengan warna kombinasi putih dan maroon, pada bagian depan kaos tersebut terdapat gambar angry bird besar. Jilbab putih memberi garis batas pada wajahnya. Aku mengangguk.

Ini adalah satu kesempatan saat ia akan bepergian. Kali lain sering ditanyainya aku apakah baju yang dipakainya cocok atau tidak. Semisal saat akan ikut mama ke undangan, saat akan berangkat mengaji, saat akan pergi les, saat akan berlatih bulu tangkis di akhir pekan…saat..saat..banyak. Aku selalu bahagia menyeksamainya dalam tunik bermotif bunga, dalam gamis kopi susu kombinasi coklat, gaya sporty dalam balutan jeans atau celana training dan kaos sepanjang lutut, yang kesemuanya dilengkapi jilbab blus. Tiba-tiba hampir setiap hari mama bilang, “Ade cantik ya, Teh?”.

Bukankah kecantikan perempuan memang tidak terletak pada seberapa terbuka pakaian yang dikenakan hingga memamerkan bentuk tubuhnya? Namun, ada yang jauh lebih esensi dari pada sekedar pesona fisik itu. Kejadian adikku yang memutuskan berjilbab sejak kelas empat SD (sekali lagi itu adalah keputusannya, tak ada paksaan dari siapa pun) adalah bukti ketaatan yang menyentuh hatiku. Juga bukti kasih sayangNya yang sulit sekali kusangkal. Maka nikmat yang mana yang sanggup kudustakan?


Rumahku Surgaku, 9 Juni 2012
~Icha Planifolia~
Diselingi ricuh lalu lalang adikku yang ingin membeli strawberry dan tiba-tiba bergelayut manja di lengan bapak sembari saling ‘mengejek’ serta aroma masakan yang lezat dari dapur, mama di sana sedang meracik bumbu cinta. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar