Minggu, 03 Juni 2012

Karena Aku Percaya


Gambar diambil dari sini
Senyumku mengembang saat mataku menumbuk sebuah kata dalam buku Undang-Undang Kesehatan. Kueja perlahan-lahan : Papaver somniferum. Tanaman yang mungkin namanya tidak banyak dikenal orang. Namun, efeknya luar  biasa. Sebut saja morfin, zat yang termasuk kelompok narkotika ini nyatanya diperoleh dari tanaman Papaver somniferum. Mampu melenyapkan rupa-rupa rasa sakit, mampu meniadakan nyeri paling hebat sekalipun. Dan tentu saja satu konsekuensi lain : menimbulkan ketergantungan, adiktif.

Seperti itulah kiranya perasaan ini, Fajar. Dalam dekapan malam yang teramat hening, kesadaranku menggenap. Inilah alasan aku tak merasakan sedikit pun sakit (atau mungkin sanggup mengabaikannya) saat dahulu kau katakan akan menikahi seorang gadis bernama Sarah. Nyatanya perasaan untukmu serupa morfin. Sanggup melenyapkan aneka perih. Kutemukan pula jawab, pantas saja aku tak pernah jera untuk mencintaimu, perasaan ini serupa ‘morfin’ : adiktif.


Kau?  Tentu saja kaulah yang bertanggung jawab atas semua ini. Kau si ‘Papaver somniferum’ yang menjadi muasal ‘morfin’. Ketiadaanmu membuatku mengalami abstinensia. Sakaw.

Kali yang lain aku kembali tersenyum, mataku berpapasan dengan sebuah kata :  Xantin. Kali ini pada buku Dinamika Obat. Tiba-tiba saja aku merasa kau bukan hanya si Papaver somniferum. Tetapi kau juga Xantin, ‘ayah’ dari Cafein. Kaulah si Xantin yang dapat menstimulasi susunan saraf pusatku. Merangsang pusat sensorik di otakku. Kau tahu apa yang kualami? Gembira, gelisah, sulit tidur, ilusi, hingga halusinasi.  

Suatu ketika aku berkunjung ke kebun obat. Disana aku menemukanmu. Kaulah Kacang Polong Rosary. Rosary pea. Inilah kiranya yang membuat aku kukuh untuk terus mematung. Meski gejala abstinensia, sakaw, sangat menyiksaku. Aku kukuh tak menyentuhmu, aku kukuh menyimpan kekagumanku padamu, Wahai Kacang Polong Rosary! Karena sekali aku berani menyentuhmu, berarti maut menantiku.

Kau tak tampak berbahaya, bahkan cenderung terlihat manis. Tapi, zat bernama abrin itu, yang kau biarkan ada dalam tubuhmu itu dapat membunuh sesiapa yang nekad menenggakmu.  Kutahu abrin-mu itu akan membuatku demam, mungkin mual hingga mulutku berbusa. Tak cukup demikian, ia akan membuatku kejang-kejang. Manisnya pesonamu, tak akan melalaikanku, kusadari betul abrin-mu mampu menimbulkan pendarahan retina, aku tak mau menjadi buta seketika. Juga kau tak dapat mengelak, abrin-mu sanggup membuat ginjalku tak berdaya bahkan membuat keseluruhan tubuhku mengalami luka dalam. Karena itulah, disini aku mematung, hanya menatapmu. Hanya mengakui bahwa kau manis. Teramat manis. Tak hendak aku bergerak lebih dekat, tak hendak aku mencicipi racun abrin-mu itu.

Hingga hari ini aku masih mencari penawar. Dari rupa-rupa gejala yang mungkin kau timbulkan. Apakah kiranya yang lebih mampu membuat cintaku tumbuh serupa rumput liar, tak terkalahkan, tak terpatahkan, kecuali pernikahan?

Meski demikian, kiranya harapan dan cinta serupa rumput liar itu sudah berjejalan di antara paving blok hatiku. Tak pernah kau janjikan akan menyiramnya. Namun ia dengan begitu bijaksana memanfaatkan beningnya air hujan. Sungguh, rasa ini tumbuh tanpa kau minta.

Dan di kesempatan yang lain, aku tengadah memandang langit. Kutemukan pula kau di sana. Fajar, kau memang matahari. Jika kau bertanya, mengapa aku mempercayakan perasaan ini padamu? Karena bersama matahari aku dapat terbakar, sehingga aku akan terus belajar bagaimana bertahan, bagaimana berjuang, pun bagaimana menghadapi takdir Tuhan yang kadang tak kuharapkan. Meski bukan kesejukan yang kau hadiahkan, namun aku tahu pasti bersamamu aku dapat merasa aman. Tak ada satu pun tangan yang akan mencederaiku, karena panasmu akan tersegera membakar tangan itu sebelum bersentuhan dengan kulitku, bukan?

“Apa pun kau, seperti apa pun dirimu, aku percaya padamu, Fajar."



Kamar  Sunyi, 3 Juni 2012
~Icha Planifolia~


Tidak ada komentar:

Posting Komentar