Rabu, 05 September 2012

Hijab

Gambar diambil dari sini
Pada 4 September 2004, dilakukan konferensi di London yang dilatarbelakangi oleh adanya larangan Pemerintah London terhadap mahasiswa : tidak boleh menggunakan simbol-simbol keagamaan, termasuk hijab. Hal ini tentu saja menuai protes, perempuan muslim merasa dirugikan dengan adanya larangan tersebut. Menutup aurat -berpakaian longgar dan berjilbab- adalah kewajiban bagi perempuan muslim. Maka, tercetuslah Konferensi London yang dihadiri 300 delegasi dari 102 organisasi di Inggris dan Internasional. Hasil konferensi tersebut adalah menggalang dukungan bagi para perempuan muslim untuk tetap menggunakan hijab dan menentukan 4 September sebagai Hari Solidaritas Hijab Sedunia (International World Hijab Day).


Perempuan muslim di belahan bumi lain begitu sulit untuk sekadar ingin menjalankan kewajiban mereka, berjilbab. Saya jadi teringat cerita mama, dahulu berjilbab di negeri ini pun tak sebebas sekarang. Bahkan, meskipun kebebasan beragama sudah dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat 1 dan 2, juga dalam UUD pasal 29 ayat 2, sekarang masih dijumpai beberapa perusahaan melarang karyawatinya menggunakan jilbab. Seorang teman mengundurkan diri dari salah satu rumah sakit di Bandung karena atasannya mempermasalahkan jilbabnya yang menutup dada, “Boleh berjilbab tapi harus simple (tidak boleh menutup dada)” begitu kira-kira katanya.

Ingatan saya lantas melayang pada tahun 2002, masih duduk di bangku SMP kelas satu saat itu. Sejak kelas 6 SD saya mulai keranjingan membaca buku. Saat itu, saya belum mampu rutin membeli buku, yang bisa saya lakukan adalah menyisihkan uang jajan untuk menyewa buku di taman bacaan. Bukan taman bacaan sebenarnya, sebuah perpustakaan pribadi milik putri sulung Pak Camat, saya berteman dengan putra bungsunya, Erwan namanya. Erwan sering bercerita bahwa kakaknya memiliki banyak koleksi buku. Saya termasuk yang cukup sering meminjam. Akhirnya, koleksi pribadi sang kakak itu disewakan. Setiap hari Erwan membawa daftar buku koleksi kakaknya ke sekolah, kami memesan, dan keesokan harinya buku yang kami pesan sudah bisa kami ‘lahap’, entah berapa ratus rupiah kami perlu membayar untuk sewa satu hari, saya sudah lupa.

Singkatnya, bertemulah saya dengan kumpulan cerpen “Hari-hari Cinta Tiara” yang ditulis oleh Mbak Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia. Salah satu cerpennya, menceritakan tentang seorang anak SMA yang luar biasa gaul. Suatu ketika dia mengikuti majelis ta’lim, bertanyalah ia pada sang ustadz tentang hukum memakai hijab. Sang ustadz tidak segera menjawab. Setelah tiga kali gadis itu (Dewi nama tokohnya) bertanya, sang ustadz baru menjawab. Seingat saya, kira-kira begini dialognya (sangat mungkin keliru, tapi intinya begini) :
 “Kalau saya jawab, apakah Dewi siap mengamalkan?”
“Loh, kenapa tidak siap, wong jilbab itu sunat kan, Ustadz?”
“Silahkan Dewi buka terjemah Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 59.”
Persis seperti tokoh Dewi, pada mulanya saya mengira memakai jilbab itu hukumnya sunat, jika dikerjakan berpahala dan jika tidak dikerjakan tidak berdosa. Teryata dalam kumpulan cerpen itu ditulis hukumnya wajib. Saya tidak percaya begitu saja, saya buka terjemah Al-Quran :

‘Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.’ (Q.S. Al-Ahzab : 59)

Saya belum mau menerima. Saat mengaji di madrasah saya tanyakan itu kepada ustadz yang mengajar saya. Kesimpulannya tetap sama : berhijab itu hukumnya wajib bagi perempuan muslim.

Berangkat dari perasaan takut menghadapi pengadilan Allah kelak, maka saya berazam jika Allah izinkan sepanjang kelas 1 SMP saya berprestasi di sekolah, saya akan menyegerakan berhijab. Di akhir tahun, Allah kabulkan itu : saya berprestasi di sekolah. Saya anggap itu petunjuk. Maka, sejak kelas 2 SMP saya memutuskan berhijab.

Mungkin awalnya tidak mengenakan : panas, tidak bisa lagi memakai baju pendek yang terkesan lebih simple, harus menahan diri saat lihat baju pandek yang lucu, kadang terasa ribet dan lain-lain. Manusiawi saja kalau hal-hal seperti itu muncul. Saya kerap mengalami itu. Dan mama saya sering berkelakar : “Kalau jilbab tidak wajib kamu lucu loh pakai kemeja pendek itu.” Kami akan tertawa bersama, lalu saling menguatkan, bahwa setelah ini Allah memiliki sesuatu yang lebih “lucu” untuk kami. Aamiin.

Percayalah sahabat, perempuan dibekali dengan keindahan luar biasa. Dalam balutan hijab pun, perempuan kerap masih mempesona kaum lelaki. Alangkah indahnya jika keharmonisan hidup kita jaga bersama. Lelaki menghormati perempuan, dan kita perempuan terlebih dahulu menghormati diri kita dengan tidak mengumbar pesona fisik yang sudah Allah karuniakan.

Saya buat tulisan sederhana ini karena saya mencintai kaum saya, kaum perempuan. Mencintai kamu juga, seorang perempuan cantik yang barangkali kebetulan singgah ke blog saya dan membaca coretan saya ini. Salam kenal ya… :)

Happy International World Hijab Day.... :)

Dengan penuh cinta,
  Icha Planifolia




Note : Erwan, makasih ya, karena buku yang disewa dari kamu sampai kini aku pakai jilbab, tapi setelah pindah di kelas 2 SMP itu, aku gak tahu kamu di mana, jadi gak bisa kusampaikan terima kasih secara langsung, kalau kebetulan mampir ke blog ini, hubungi aku ya! Kalau kamu lupa, aku Icha dan dulu galak sekali…hehehe

4 komentar:

  1. Memang membuat keputusan berhijab itu susahnya minta ampun ya cha. Aku sendiri mulai SMP memang udah berhijab kalo sekolah aja, tapi mulai memutuskan nggak lepas2 lagi baru kelas 3 SMA. Tapi memang berhijab itu lebih banyak untungnya daripada ruginya sih (>o<)b

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup..betul banget... lebih banyak manfaatnya...
      semoga istiqomah yah kita...aamiin...:)

      salam kenal chici... :D

      Hapus
  2. Dulu saya mempelajari ini di hukum internasional. Saya sedikit lupa apakah hasil konferensi London pada 4 September 2004, adalah hasil konferensi yang sama dengan yang dianut oleh Perancis. Tapi seingat saya, yang dilarang adalah "pemakaian segala macam atribut keagamaan", jadi yang dilarang bukan hanya "hijab" tapi juga tanda keagamaan lain, ini berlaku juga buat Katholik, Kristen, juga Yahudi.

    Setau saya, dari teman-teman yang pernah ambil S2 di Perancis, ini cuma di sekolah negeri. Jika di sekolah swasta, saya rasa aturan ini tidak berlaku. Saya kira wajar kok, mereka khan negara sekuler.

    Saya kira, yang harus digarisbawahi adalah bukan hijab yang dilarang, tapi semua tanda keagamaan. Karena bagaimanapun Yahudi juga punya aturan khusus mengenai pria/wanita dari umatnya untuk memakai tanda keagamaan.

    Saya kira tiap negara punya kebijakan tersendiri, sesuai dengan riwayat sejarah mereka ;-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya....

      Tulisan ini saya buat sebagai bentuk cinta kepada sesama perempuan muslim. Kenapa perihal tanda keagamaan yang lain tidak saya bahas, saya sedang berusaha berbagi tentang apa yang saya yakini.

      Makasih ya... :)

      Hapus