Menjauh
dari hingar bingar perkotaan begitu menyenangkan. Terlebih karena aku
menghabiskan malam dalam dekapan kasih dua orang yang menjadi perantaraan aku
hadir di dunia ini, bapak dan mama.
Kubuka
pintu pagi yang beku. Gegas memburu kamar mandi. Hari ini aku ingin menikmati
hijaunya perkebunan teh. Sejuknya air meresap. Mengantar rasa damai melalui
pori-poriku.
Setelah
melewati gang, kini aku berada di jalan utama. Tentu jalan utama disini tidak
seperti jalan utama di jalan soekarno-hatta atau jalan gatot subroto, di pusat
kota bandung sana. Jalan utama disini
tidak lebih dari sebuah jalan yang cukup dilalui dua kendaraan (dari arah
berlawanan). Jalan ini sama sekali tidak padat, sangat jauh dari kesan ramai.
Aku
menghentikan langkah di pertigaan. Di hadapanku tampak sebuah jembatan. Jalan
tol. Semenjak keberadaannya, banyak hal yang berubah dengan kondisi desa ini.
Cuaca berubah. Saat pembangunannya cukup banyak penebangan pohon, sehingga kini
panas lebih sering mengakrabi penduduk desa ini.
Kondisi
ekonomi pun berubah. Sebelum jalan tol
itu rampung dibangun, jalan desaku ini menjadi jalan utama perlintasan
kendaraan dari Bandung menuju Jakarta. Banyak sekali kendaraan yang melintas,
baik kendaraan umum seperti bus maupun kendaraan pribadi. Penduduk desa ini
banyak yang bermata pencaharian sebagai penjual kerajinan dan makanan oleh-oleh seperti, peuyeum, manisan,
dll. Banyak pula yang mempunyai rumah makan. Karena seringkali bus atau
kendaraan pribadi itu singgah disini, untuk sekedar mengusir rasa lapar atau
pun membeli oleh-oleh. Dan kini
banyak sudah yang gulung tikar, karena banyak orang lebih memilih menempuh
perjalanan melalu jalan tol. Jalan yang dikatakan bebas hambatan itu.
Kuhembuskan nafas yang berasal dari keentahan. Ketidakmengertianku tentang
keadaan. Demi efisiensi waktu atau entah demi apa jalan bebas hambatan itu
dibuat. Yang pasti dengan keberadaannya, banyak yang terbantu dan banya juga
yang merasa buntu.
Sebuah
angkutan pedesaan berhenti persis di hadapanku. Aku naik berbarengan dengan
seorang laki-laki paruh baya. Aku mengambil tempat duduk di samping seorang
pedagang yang sibuk dengan barang dagangannya. Potongan buah-buah segar, tahu
sumedang, telor puyuh, mainan anak, dan masih banyak lagi, semua dikemas dalam plastik
kecil dan biasanya dijual dengan harga seribu rupiah per bungkus.
Angkutan
pedesaan ini terus melaju dengan kecepatan sedang. Melalui tanjakan yang
disamping kirinya berjejer rumah penduduk, sementara di sebelah kanan jalan
dihiasi pohon bambu. Angkutan yang kutumpangi tiba-tiba saja berhenti. Hiruk
pikuk manusia. Kulirik keluar jendela. Pantas saja, ternyata kami sampai di
kawasan pasar tradisional. Ramainya orang membuat angkutan yang kutumpangi tak
dapat bergerak dengan leluasa.
Lepas
dari hiruk pikuk pasar. “Kiri!”, kataku memberi
kode kepada pengemudi angkutan desa ini untuk menginjak pedal rem. Aku turun
setelah sebelumnya memberikan uang receh dua ribu-an kepada kernet yang sedari tadi bergelantung di
pintu mobil menawarkan jasa kepada calon penumpang.
Sebelum
benar-benar turun dari angkutan desa tersebut, telingaku sempat menangkap
komentar sang kernet yang membentuk lagu tidak jelas, bunyinya “Lari pagi…Lari
pagi…”. Mungkin karena melihat celana training, kaos, dan sepatu sport yang kukenakan.
Aku
menyebrangi jalan. Menuju sebuah jalan tak beraspal. Di kiri dan kanan jalan
terdapat kebun teh. Udara sejuk mulai berebut masuk kedalam paru-paruku. Hal
yang terasa sangat mahal saat berada di tengah kota yang hidup dengan berjuta
kendaraan. Aku menikmati tiap tarikan nafas.
Aku
membagi senyum pada seorang gadis kecil yang berada di kiri jalan. Dia tengah
duduk pada sadel sepeda gunungnya. Melihat postur tubuh dan raut wajahnya, kutaksir
dia masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Sang gadis kecil membalas
senyumku. Aku bersumpah senyum dan sapa jauh lebih murah disini.
Tiba
di sebuah jembatan besar. Di bawah jembatan ini terdapat jalan tol. Banyak sekali
orang disini yang selintas saja dapat ditebak, mereka baru saja selesai lari
pagi. Terlihat dari wajah letih dan pakaian yang kuyup dengan keringat. Ada
sekelompok anak muda yang duduk sambil meluruskan kaki mereka, sesekali mereka
bertukar canda. Ada beberapa pasangan muda dengan buah hati mereka. Aku
melewati kerumanan orang yang sedang beristirahat di jembatan itu.
Kali
ini jalan yang kulalui seluruhnya adalah perkebunan teh. Terdengar suara burung
dan berbagai makhluk lain. Indah. Terdengar harmonis. Suara mereka meningkahi
suara angin yang halus. Aku mulai berlari-lari kecil. Mengikuti jalan batu yang
berkelok-kelok. Suara kerikil yang beradu dengan sapatuku menciptakan suara
khas.
Telingaku
menangkap celotehan-celotehan yang belum kuketahui dari mana sumbernya.
Menyelesaikan satu tikungan, dihadapanku tampak segerombolan remaja. Rampung
sudah rasa penasaranku. Kegaduhan itu berasal dari segerombolan remaja yang
sedang sibuk mengoper bola sambil berlari-lari kecil.
Aku
mempercepat langkah kakiku saat aku melewati segerombolan remaja itu. Ada
sebuah “tonjokan” halus yang kurasai mendarat di ulu hatiku. Menyisakan nyeri
yang tak seberapa namun sedih yang dalam. Jelas kulihat beberapa dari mereka
mengenakan celana pendek berwarna biru, yang aku bisa ingat dengan fasih itu
adalah seragam siswa sekolah menengah pertama. Salah satu diantara mereka
menggenggam hp yang sedang
mengalunkan musik melayu. Yang membuat aku tertegun adalah tangan kanan anak
remaja itu. Sebuah rokok putih bertengger manis disana. Dan dia dengan santai
menghambur-hamburkan asapnya ke udara.
Menyadari keberadaanku, mereka menghentikan permainan bola dan memberi aku jalan. Dan ketika aku persis ada di hadapan mereka yang masih terus bertukar canda, mereka menggodaku. Aku sungguh tak percaya, mereka menggodaku seolah aku ini seorang pramunikmat. Salah satu diantara mereka mengangkat alis, menyeringai, “Ayo bersenang-senang!”, katanya. Disambut tawa membahana yang lainnya. “Bersenang-senang sampai berkeringat. “, timpal yang lain. Lagi-lagi disambut tawa keras. Aku susuri pakaian yang kukenakan. Semua serba panjang, dan cukup longgar untuk tidak membuat bentuk badanku terlihat jelas. Aku merajuk pada Tuhan agar berkenan melindungiku. Sudut mataku mencuri pandang sekitar. Sepi. Hanya ada aku dan mereka. Aku gegas mempercepat langkah. Meninggalkan mereka yang masih terus terbahak. Tawa yang seketika membuat aku jengah dan ingin muntah.
Menyadari keberadaanku, mereka menghentikan permainan bola dan memberi aku jalan. Dan ketika aku persis ada di hadapan mereka yang masih terus bertukar canda, mereka menggodaku. Aku sungguh tak percaya, mereka menggodaku seolah aku ini seorang pramunikmat. Salah satu diantara mereka mengangkat alis, menyeringai, “Ayo bersenang-senang!”, katanya. Disambut tawa membahana yang lainnya. “Bersenang-senang sampai berkeringat. “, timpal yang lain. Lagi-lagi disambut tawa keras. Aku susuri pakaian yang kukenakan. Semua serba panjang, dan cukup longgar untuk tidak membuat bentuk badanku terlihat jelas. Aku merajuk pada Tuhan agar berkenan melindungiku. Sudut mataku mencuri pandang sekitar. Sepi. Hanya ada aku dan mereka. Aku gegas mempercepat langkah. Meninggalkan mereka yang masih terus terbahak. Tawa yang seketika membuat aku jengah dan ingin muntah.
Bertemu
dengan meraka membuat aku ingin segera mengakhiri tamasya ini. Padahal sungguh
hamparan hijau kebun teh masih memikatku. Sejuk udara dan nyanyian burung masih
memasung kekagumanku akan kuasa Tuhan. Tapi aku tak bisa bertaruh lebih lama,
keselamatanku lebih utama. Disini terlalu sepi dan jauh dari keramaian. Fikiran
yang tak kubiarkan bertahan lama, segera kuusir sejuta prasangka. Kuputar arah melalui
jalan berbeda, menuju jalan pulang.
Lega
menghampiriku saat sudah kembali tiba di jembatan dan masih ada banyak orang
disana. Ya Tuhan! Segera kukemasi
suara yang nyaris keluar dari mulutku. Aku bertemu dengan dua orang remaja.
Kuulangi, lagi-lagi remaja. Entah duduk di bangku sekolah menengah pertama atau
sekolah menengah atas. Yang bisa kutangkap adalah dua anak remaja beda jenis.
Mereka
duduk di sebelah kanan jalan yang kulalui. Benar-benar abai dengan sekitar.
Remaja perempuan itu terlihat begitu manja. Tangan mereka saling menggenggam.
Kukira cukup sampai disini, ternyata tidak. Tubuh mereka merapat, dan mereka
kini sibuk bertukar lilitan lidah pahit. Tuhan!
Sekali lagi aku mohon ampun pada-Nya, atas ketidakmampuanku berbuat apa-apa.
Seketika
rasa mual menyerangku. Mual sekali melihat adegan itu. Dan aku bisa pastikan mereka
masih abai dengan sekitar, sekalipun aku sudah tak menoleh ke arah mereka. Aku
berjalan dengan sangat cepat. Pandanganku lurus kedepan. Meninggalkan
jejak-jejak yang memasungku dalam keentahan. Ketidakmengertian tentang keadaan.
Oh Desaku!
***
Cikalongwetan,
8 April 2012
~Icha
Planifolia~
kenapa gak dilempar batu aja tuh dua remaja setan yang bertopeng manusia?
BalasHapusklo dia marah, blg ajah: saya gak lmparin kmu batu qo, tp saya mlmpar setan yang ada dlm diri kalian,,klo klian gak ngerasa setan, ya jgn marah..abis itu pergi dgn santai,,
#gaya gue bgt
:)
BalasHapuskebetulan gaya kita beda dindoon...heu
ah,,teteh mah terlalu lmbut siih
BalasHapus-_-
aku mah udah emosi liat bocah kyk gtu
:)
BalasHapuskita perlu etika supaya orang tahu islam itu indah dindoon sayang....
etika?
BalasHapusmasih hrs brsikap etika di dpn org yg sma skali gak tau etika?
hmm...jujur tth bukan orang yg gape dgn sejarah...terutama sejarah hidup Rasulullah...
BalasHapustpi kita bisa banyak ambil hikmah dari kelembutan sikap Rasul...
Paling tidak tth kira bukan lemparan batu solusinya... :)