Inilah situ lembang, indah bukan? |
Tanganku bergerak sigap. Kuambil jas hujan, jaket,
beberapa makanan ringan yang sudah
kubeli pagi tadi, dua botol air mineral, obat-obatan secukupnya, dan
tentu saja buku catatan dan sebuah ballpoint. Sebuah ransel berwarna hitam
sudah menanti di sudut kamar. Segera kumasukkan barang-barang yang kukira akan
kubutuhkan, tentu saja dengan kutata rapi di dalam ransel.
Ada letupan-letupan yang tak terdefinisi saat kakiku melangkah meninggalkan kamar kontrakan yang sudah hampir empat tahun ini kutempati. Letupan bahagia karena aku akan segera terbebas dari kerinduan. Rindu untuk mencumbui kenangan yang sudah ku tinggalkan tujuh tahun silam.
Terdengar bunyi “bip “disertai getaran, berasal dari saku jaket jeansku. Kuraba perlahan. Ponselku bergetar dan kembali terdengar bunyi “bip”. Kulihat ada sebuah pesan masuk, tertulis nama Nay di layar ponselku. Aku memang berjanji untuk melakukan perjalanan bersamanya hari ini.
Aku tunggu di perempatan jalan. Itu yang tertulis dalam pesan yang dikirim Nay. Aku mempercepat langkahku.
Kudapati Nay sudah menunggu.
“Ayo Neng!”, kata seorang sopir angkot kepadaku yang baru saja menyebrangi jalan, menghampiri Nay. Kuanggukan kepala pada Nay, tanda untuk mengiyakan tawaran sang sopir angkot.
Angkot dengan cat berwarna oranye ini terus melaju membelah jalanan berdebu. Mengantar aku dan
Nay ketempat tujuan. Untuk sampai tempat yang kami tuju kami perlu berganti
angkot tiga kali. Ada perasaan tak sabar yang mendesak, membuat aku berharap
sang sopir menekan pedal gas lebih dalam.
Kami tiba di sebuah perempatan. Disini kami akan naik angkot terakhir sebelum meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.
Mencumbui indahnya alam adalah kemegahan tiada tara. Bahagia tiada tara mengetahui aku bisa kembali meresapi puing-puing kenangan yang pernah kuukir bertahun silam.
Setelah melalui jalan menanjak yang berkelok-kelok,
angkot yang kutumpangi berhenti persis didepan sebuah jalan. Terdapat gapura
besar bertuliskan “KOMANDO” disana. Aku menyerahkan uang sepuluh ribu-an kepada
sopir angkot yang sudah mengantarku. Sudah lama sekali aku tak kesini, sudah
tidak tahu berapa ongkos angkot sekarang. Aku menunggu beberapa saat karena
sang sopir sibuk mencari uang receh, diberikannya beberapa lembar ribuan
padaku. Setelah mengucapkan terimakasih, aku dan Nay berlalu.
Perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki. Sebelum sampai di tempat tujuan kami harus melalui perkampungan penduduk terlebih dahulu. Ada nuansa yang sedikit berbeda. Disamping kiri dan kanan jalan yang kami lalui tampak rumah-rumah sederhana, jauh dari kesan mewah. Banyak diantaranya yang masih berdinding bilik dan beralas papan kayu.
Langkahku terhenti saat dihadapkan pada tiga jalan. Bingung melandaku. Dulu terakhir kali aku mengunjungi tempat ini hanya ada dua jalan. Ku buka kotak ingatanku. Aku yakin betul, hanya ada dua jalan. Nay berdiri disampingku. “Lewat mana?”, tanyanya. Aku mengendikkan bahu. Sekitar dua meter di hadapanku, kulihat seorang laki-laki tengah sibuk memasukan ampas tahu ke dalam karung. Aku menghampirinya. Aku mendekat setelah sebelumnya membagi senyum terbaikku –kukira- terlebih dahulu.
“Punten, Pak bade tumaros, upami jalan bade ka Situ
Lembang ka palih mana nya? Kapungkur mah jalanna mung aya dua, ayeuna mah
janten aya tilu kieu geuning.”1, tanyaku. Kuputuskan untuk menggunakan bahasa
sunda, yang kupertimbangkan cukup halus.
“Oh kapalih dieu, Neng.”2, kata sang bapak sambil
jempolnya menunjuk salah satu jalan. Cara yang dianggap sopan bagi orang sunda
saat menunjukan arah.
“Upami jalan anu ieu mah enggal nya, Pak? Jalan kamana ieu teh, Pak?”3, aku bertanya menuntaskan rasa penasaran dengan jalan yang baru kulihat.
“Oh eta teh jalan bade ka masjid.”4, kemudian sang bapak menceritakan tentang aktivitas dakwah seorang ustadz yang cukup terkenal. Ustadz yang banyak dicerca orang, namun ternyata –dimataku- begitu serius merangkul masyarakat. Terbukti keseriusannya membangun mesjid dan –rencananya- pesantren di daerah ini, untuk kemudian aktivitas menebar kebaikan disini jadi lebih kondusif. Sang ustadz berusaha ‘menyentuh’ daerah ini, yang mungkin tak terfikir oleh yang lainnya.
Aku dan Nay meneruskan perjalanan, setelah terlebih
dahulu berpamitan pada sang bapak. Kami menyusuri jalan setapak. Disamping kiri jalan berderet
rumah warga yang diselingi dengan kandang sapi. Menyebar aroma kurang sedap. Di
samping kanan jalan terdapat perkebunan kol. Sejauh mata memandang tampak
kol-kol yang berjejer rapi. Sepanjang menyusuri
jalan setapak ini, beberapa kali kami berpapasan dengan warga. Mereka
menyapa kami, sekedar menawari kami senyum hangat. Hangatnya seolah mengusir dingin yang merambati kulit kami, karena jalan
yang kami tempuh makin menuju dataran tinggi. Senyum hangat dan sapa sarat
muatan kepedulian adalah barang yang mudah sekali ditemukan disini.
Panorama lain yang disuguhkan di Situ Lembang |
Sejurus kemudian kami tiba dijalan batu. Kami terus
melahap jarak di hadapan. Pegalnya kaki dan leleran peluh sama sekali tak kami
hiraukan. Kami berusaha mendekati keagungan penciptaan Tuhan dengan cara kami.
Situ Lembang. Ah, aku mendesah. Tak sabar sekali aku
ingin segera memandang Situ Lembang yang entah bagaimana rupa memaku
kekagumanku. Situ lembang ini adalah situ atau danau buatan yang terletak di
Lembang, Bandung Utara. Untuk mencapainya aku memilih jalur cimahi, kemudian
cisarua, dan berjalan kaki menuju situ.
Situ ini terletak diantara Gunung Burangrang dan
Gunung Tangkuban Parahu, berasal dari hulu sungai Cimahi dan mata air
disekitarnya yang menciptakan genangan besar ditengah puncak-puncak pegunungan
yang masih merupakan hutan alami. Meskipun hanya danau buatan, Situ Lembang
dijamin mampu memberikan sensasi bagi para pengunjungnya, setidaknya bagiku.
Meski tujuh tahun telah berlalu sejak kali pertama aku mengunjungi tempat ini,
tapi ingatanku selalu dibawa kembali pulang kesini.
Aku begitu menyukai situ ini. Karena dari sini aku
dapat menikmati pegunungan berdinding curam yang terlihat dari utara melingkar
ke barat dan menyatu dengan rangkaian pegunungan Burangrang. Di sebelah timur,
Gunung Tangkuban parahu terlihat jelas. Konon, rangkaian pegunungan yang
melingkar itu adalah rangkaian kaldera dari Gunung Sunda Purba.
Lepas berjalan cukup lama, kami sampai di Lawang Angin.
Ini adalah tempat yang selalu aku rindukan. Disini aku mendapati pohonan pinus
yang entah berapa jumlahnya, banyak sekali. Pohon –pohon pinus itu berderet
rapi, serupa siswa sedang melakukan gerakan baris-berbaris. Diantara barisan
pinus itu, aku bisa mendengar bisikan angin yang paling halus sekalipun.
Bisikan angin yang tak dapat kujumpai di tempat lain. Gerakan angin yang paling
gemulai sekalipun dapat kudengar disini. Mungkin karena itulah tempat ini
dinamai ‘Lawang Angin’.
Baru aku menarik nafas. Aku tertegun melihat papan
peringatan yang berisi larangan camping
maupun mengunjungi Situ Lembang. Kini ada pos penjagaan disini. Seorang
laki-laki berseragam TNI memanggilku. Aku mendekat ke pos. Aku mengangguk
hormat. Beberapa menit berlalu. Laki-laki berseragam TNI itu menanyakan
tujuanku, akan pergi kemana, untuk tujuan apa, dan lain-lain. Aku menjawab apa
adanya. Aku hanya ingin menikmati keindahan situ, tak ada lain. Sementara Nay
disampingku sempurna membisukan mulutnya.
Laki-laki lain yang juga berseragam TNI muncul dari
dalam pos jaga. Dia menegaskan bahwa aku tak dapat masuk. Pos ini adalah batas
terakhir. Aku mencoba bernegosiasi. Menit-menit berlalu. Hasilnya sama, pos ini
adalah pos terakhir dan aku tak diizinkan melanjutkan perjalanan. Aku dan Nay
mencoba memaklumi. Keadaan sekarang sudah berbeda. Kini, Situ Lembang “dipegang”
oleh KOPASUS. Tak lagi sembarang orang dapat mengunjunginya.
Aku membayangkan hangatnya segelas kopi mengaliri
kerongkonganku sembari menikmati panorama situ lengkap dengan suguhan asrinya panorama
hutan alami. Namun, semuanya menguap. Kusadari tujuh tahun bukan waktu singkat,
banyak sudah yang berubah kini.
Akhirnya aku mohon izin untuk mendirikan sholat di pos
penjagaan tersebut. Aku mulai larut dalam dialog dengan Tuhan. Kusampaikan
segenap kekagumanku akan ciptaan-Nya, kuutarakan segenap rasa bahagia menikmati
keindahan alam yang dilukis-Nya, selebihnya aku merajuk untuk keselamatan
orangtuaku, juga merajuk untuk terwujudnya impian-impianku.
Lepas sholat, kami berpamitan. Kami menyusuri jalan
berbatu menuju bukit yang sempat kami lihat di perjalanan tadi. Kini, disinilah
kami. Di bukit yang menyuguhi kami dengan panorama aneka rupa pohon yang tak
kami hafal namanya, aneka rupa bunga, juga hamparan kebun kol. Pandangan kami
sangat lepas dari sini.
Aku sibuk mencumbui kenangan, merampungkan rindu pada
lukisan alam yang begitu membiusku. Nay terus bergumam memuji Tuhan. Sungguh
dalam hati, aku pun begitu. Cantiknya bunga matahari. Gagahnya pinus yang
seolah tersenyum mengetahui kehadiran kami. Semilir angin yang membelai mesra.
Jangkrik yang menghadiahkan nyanyian merdu. Aku memuji Tuhan, lagi dan lagi.
Kini, buku catatan dan pena sudah ada digenggaman. Beberapa detik
kemudian aku sudah larut dalam catatanku.
Untukmu yang tak kuketahui
rimbanya…
Untukmu yang belum bernama
dalam imajiku…
Sejujurnya aku lebih suka
bercengkrama diantara rimbun ilalang. Aku lebih suka berbagi canda di sela
pinus sebagai penjaga. Aku lebih suka dipeluk lukisan alam.
Sayang…
Apakah kau mau menggenggam
tanganku saat melewati terjalnya batuan? Kau juga bersedia memberikan bahumu
untukku bersandar, saat kita menikmati segelas jahe hangat ditengah mencekamnya
rimba, bukan? Katakan padaku kau akan membagi pelukan hangat saat dinginnya
alam pegunungan merayapi tiap jengkal tubuh kita! Dan kita akan bersujud
bersama saat kaki kita menjejak puncak gunung yang bagiku terasa mewah, iya kan?
~Nis~
Kukemasi
harapan ini rapat-rapat. Aku berbisik lirih, sangat lirih. Bahkan Nay yang
berada disampingku pun kupastikan tak mendengarnya. Lirih sekali aku menitipkan
salam pada angin yang berlalu. Salam untukmu yang belum bernama dalam imajiku.
Salam untukmu yang aku tak tahu rimbanya.
Disini
aku menitipkan dua cinta. Cinta pada Mahakarya-Nya yang memasung kekagumanku
dan membawaku untuk terus mencumbui bebasnya alam. Juga cinta untukmu (kau yang juga Mahakarya-Nya) yang
memasungku dalam doa-doa panjang. Untukmu…yang entah.
Kamar
Sunyi, 9 April 2012
~Icha
Planifolia~
1Maaf, Pak mau tanya, kalau jalan ke Situ Lembang kemana ya? Dulu jalannya hanya dua, sekarang jadi ada tiga.
2Oh kesebelah sini, Neng (panggilan untuk gadis Sunda).
3Kalau jalan yang ini baru ya, Pak? Jalan kemana ini?
4Oh, ini jalan ke mesjid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar