Hmm…sepertinya tugas akhir itu memang membuat otak
agak “miring”. Setidaknya itu yang aku simpulkan hari ini. Selain kesimpulan
lain : Secangkir semangat = 250 cc persahabatan + sesendok tawa manis. :)
Kantin Kampus, 10.30 pagi…
Ries datang dengan seember keluhan tentang biaya
kuliah yang tiba-tiba naik. Kuulangi : tiba-tiba naik. Come on! Ini sudah menjelang ujian tengah semester, bagaimana bisa
ada kenaikan biaya kuliah di pertengahan semester begini. Sejurus kedepan soal
kenaikan biaya kuliah ini menjadi running
topic.
Memang dasar makanan melenakan. Maka, setelah
cuanki seafood (Pesanan Ries, Isyum dan Cuntil), nasi gudeg (pesananku), dan
pempek (pesanan Biri) –masih ditambah tiga gelas es jeruk lemon dan dua botol
air mineral- terhidang di meja kami, perlahan kami terbius. Pembicaraan tentang
kenaikan biaya kuliah itu –yang kuingat- ditutup dengan :
“Kayaknya aku bayar sisa uangnya hari senin.”,
kataku lebih semacam pengumuman.
“Oh ya sudah, bareng ya, Cha?”, sambar Ries. Aku mengangguk,
mengiyakan. Mulutku tidak bisa sekedar mengatakan iya, geraknya tertahan gudeg
dan ayam goreng yang aduhai rasanya. Hehe.
Isyum tampak panik. “Huah…gimana dong? Kan kemarin
jatah uang kuliah lebih, kata papa kelebihan uang itu buat aku.” Dia menjeda
kalimatnya. “Nah, uangnya udah aku pakai belanja. Sekarang uang kuliah malah
kurang. Darimana tah ganti uang itu?”, bibir Isyum mengerucut, pipinya memerah.
Tiap kali panik memang pipinya suka tiba-tiba “matang”.
Biri menatap Isyum dengan tatapan “masalah buat
gue?”. Tidak cukup sampai sini : aku, Ries, dan Cuntil saling lirik, kemudian
“hahahaha”. Puas!
“Jual aja tas baru kamu!”, seloroh Ries.
Disambut dengan bibir Isyum yang semakin ‘maju’.
Dan kejadian selanjutnya mudah ditebak : aku, Biri, dan Cuntil tertawa riang.
Kuperingatkan “Don’t try this at home!”. Tidak baik berbahagia di atas
penderitaan teman. Kecuali jika teman anda adalah Isyum. Hehe.
Dan nyam…nyam…nyam. Kami sibuk melahap makanan
yang –saat ini- lebih menarik ketimbang apapun. Sambil obrolan diantara kami
terus bergulir. Tibalah kami pada obrolan dalam ranah tugas akhir. Membicarakan
tugas akhir kami dan teman-teman yang lain. Sampai pada membincang soal gel;
salah satu bentuk sediaan farmasi.
“Eh, jel-nya Uma (salah satu teman kami) warna
coklat, kenyal-kenyal…”, celetuk Ries, tiba-tiba.
Aku iseng menimpali. “Wow…coklat kenyal! Hahaha.”
Seketika Biri dan Cuntil menatapku, menyilet
sekali tatapan mereka, tapi tawa yang ditahan itu tak bisa disembunyikan. “Mulai…mulai…”,
kata mereka sambil jari telunjuk mereka tegak. Gerakan mirip ibu-ibu sedang
melarang anak TK. Aku nyengir. Sepertinya masing-masing punya interpretasi
sendiri dengan frase “coklat kenyal” itu. Terbukti :
“Jel-nya mirip ongol-ongol. Kalian tahu
ongol-ongol?”, sambung Ries kemudian.
Dengan PD tingkat kotamadya Biri menjawab, “Tahu.
Ongol-ongol itu yang dibikin dari singkong atau ubi, kan?”
“Bukan!”, aku dan Ries protes. “Dari aci tahu!.”,
Ries meluruskan.
“Lah, bukan dari singkong atau ubi?”, Biri
nyengir. “Eh, bukannya yang dari aci namanya Ciu?”
“Iya…iya, Bir, Ciu. Aku tahu. Ciu itu aci yang
pakai bawang, kan?”, kali ini Cuntil turut menimpali.
Aku gemas juga, “Wew ah! Itu Ciwang tahu!”
Kacau! Kami kompak : Hahaha.
Seolah ada kesepakatan –tanpa materai dan tidak
disaksikan notaris- obrolan bergulir seputar pangan tradisional.
“Kalian tahu kelepon?”, Biri mengajukan ‘kuis’.
Isyum menjawab mantap. Kuulangi :mantap. “Tahu.”,
disusul anggukan aku, Ries, dan Cuntil, menandakan kami pun tahu.
“Apa?”, tantang Ries kepada Isyum. Kami curiga
dengan jawaban mantap Isyum. Benar saja kecurigaan kami terbukti.
“Aku tahu, kelepon itu yang mirip ondel-ondel,
kan?”
What? Kelepon mirip ondel-ondel? Kuulangi :
kelepon mirip ondel-ondel. Anda semua –saya kira- tahu kue kelepon. Dan
ondel-ondel –saya kira- anda juga tahu.
Kelepon yang berupa kue berwarna hijau atau oranye
didalamnya terdapat gula merah serta ditaburi kelapa di bagian luarnya. Betul?
Mari beralih pada ondel-ondel, boneka dengan tinggi kira-kira 2,5 meter dengan
garis tengah sekitar 80 cm, dibuat dari anyaman bambu, bagian wajahnya berupa
topeng, rambutnya dibuat dari ijuk, serta sering ditampilkan pada pesta rakyat
betawi. Baiklah, sidang pembaca yang terhormat, dapatkah anda menemukan
kemiripan antara kelepon dengan ondel-ondel?
“Itu mah budaya betawi, None! Hahaha.”, timpalku.
Hahaha. Disambut tawa yang lain (kecuali Isyum
tentu saja). Isyum tampak berfikir sejenak, mungkin menelusuri: apa yang salah
dengan kalimatnya?
“Ah iya…iya..”, seolah Isyum dapat ide cemerlang.
Seolah loh ya! “Maksud aku onde-onde.”
“Ih bukan!”, protes Ries, disampingku Cuntil sudah
mulai terpingkal dipelintir tawa.
Tapi sidang pembaca yang terhormat, ke-PD-an Isyum
masih di tingkat nasional. Hoho. “Iya! Onde-onde sama dengan telepon.”, lanjut
Isyum masih membela jawabannya.
Kali ini Biri angkat bicara, “Ih lagian bukan
telepon Isyum, tapi kelepon.”
Isyum dengan tampang sok cantik kembali menjawab
dengan lambat-lambat, “Iya, onde-onde itu sama dengan telepon.”
Wah…wah…sepertinya mengajak kita untuk keringetan.
“Kelepon Isyum! K-e-l-e-p-o-n!”, full volume suara Biri. Hahaha. Parah!
“Huh, aku kan bukan orang sini, gak ngerti aku.”,
kata Isyum akhirnya.
“Yeee…kalau gak ngerti kenapa jawab dengan PD dan
sok tahu?”, sahut Ries disela tawa. Ya terang saja, kami (kecuali Isyum) tertawa
panjang…sangat panjang. Puas! Hahaha.
“Okelah berhubung Isyum orang padang, kita tes
tentang kuliner padang aja.”, yang ini usul Biri. Bau konspirasi tak tertulis
segera memenuhi ruangan kantin. Hehe.
“Oke, kamu tahu makanan yang dari ketan itu? Khas
padang itu.”, tantang Ries. Aku dan Cuntil masih sibuk mengemas tawa kami,
sumpah sakit perut!
Kali ini masih PD, Isyum menjawab dengan “anggun”,
“Itu sih gak usah jauh-jauh ke Padang, sebelum Ciater juga banyak, bumbunya
pedes, kan?”. Gubrak!
“Itu sih ketan bakar!”, kami kompak. Kemudian
saling menimpali.
“Gak usah ke ciater, kalau ketan bakar sih di
pasar antri juga banyak.”, Cuntil angkat suara.
“Di cihanjuang juga ada.”, belum puas Ries
menimpali.
“Hmm…itu sih depan rumah kau juga ada.”, ini suara
Biri.
Alamak! Markisyum…lalalala! Itu galamai, kawan!
Galamai ini makanan khas padang yang mirip dodol, dibuat dari tepung ketan,
dicampur dengan gula. Garis bawahi : gula ya bukan bumbu pedas. Hahaha.
Isengku mulai kumat (dari tadi sebenarnya sudah
kumat sih. Hehe). “Kamu kalau gini mau dideportasi ke Padang juga takut gak
diakui warga sana. Hahaha.”
“Iya nih, di Bandung gak ngerti Bandung, di Padang
gak ngerti Padang, kalau gini sih gak diakui dimana-mana.”, kata Cuntil ditutup
tawa kami yang nyaring, senyaring-nyaringnya. Aku kira akan berakhir disini.
Ternyata Cuntil melancarkan serangan berikutnya. “Tahu gak kalian, Isyum akan
melakukan apa begitu sampai rumah?”
Kami hening. Menunggu jawaban Cuntil. “Dia akan
menemui papanya dan berkata ‘papa, mengapa aku berbeda?’ dengan nada mirip
temennya Sinchan yang ingusan itu loh.”, sejenak kami berimajinasi, dan hahaha.
Jangan tanya bagaimana ekspresi Isyum. Sungguh salah tingkah dia. Dan hanya bisa memelas. "Kaliaaaannnn!". Kami? Tetep : hahahaha.
Jangan tanya bagaimana ekspresi Isyum. Sungguh salah tingkah dia. Dan hanya bisa memelas. "Kaliaaaannnn!". Kami? Tetep : hahahaha.
Ya Tuhan…ternyata obat galau tugas akhir ada di
depan mata. Sungguh kami kurang bersyukur. Kesimpulan hari ini : Secangkir
semangat = 250 cc persahabatan + sesendok tawa manis. :)
Love u Isyum, Cuntil, Biri, Ries…
*Hug n Kiss
(To be continue…masih banyak kisah konyol lain, di
episode berikutnya mungkin tentang Isyum yang coba bernyanyi tembang Sunda, si
Padang yang satu ini memang PD gila! Hahaha. Atau tentang pertemuan dengan 'perawan tua', atau soal si Kibas, ya kita lihat saja nanti. Hehe.)
Kamar Sunyi, 20 April 2012
~Icha Planifolia~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar