Bismillahirrahmanirrahiim…
Mungkin pertanyaan pertama yang muncul adalah untuk apa membuat tulisan ini. Sejujurnya aku menulis dengan memelas, agar pertanyaan itu tak ada. Karena aku tak memiliki stok jawaban untuk apa tulisan ini dibuat. Aku hanya ingin membuatnya. Itu saja.
Mungkin pertanyaan pertama yang muncul adalah untuk apa membuat tulisan ini. Sejujurnya aku menulis dengan memelas, agar pertanyaan itu tak ada. Karena aku tak memiliki stok jawaban untuk apa tulisan ini dibuat. Aku hanya ingin membuatnya. Itu saja.
Aku berjalan mundur, menjejaki waktu yang kandas kita lalui. Hampir
dua tahun bukan? Hampir dua tahun kita sudi membagi langkah demi wajah kita
berpaut dalam lingkaran hikmah, liqo, halaqah yang manis.
~Sun~
Waktu menyeret kita dalam pusarannya. Hingga hampir genap tujuh tahun
sudah kita bertukar kisah, bertukar canda, bertukar entah apa lagi. Mungkin
bertukar rasa kesal, mungkin sesekali bertukar rasa iba. Entah apa lagi. Kita
“mencicipi” proses perkenalan yang panjang. Aku mencoba “memutar video”
kebersamaan kita. Tak kutemukan apapun, kecuali kebaikanmu dan segala
kekuranganku. Pengertianmu dan segala kesemena-menaanku. Perhatianmu dan semua
abaiku. Nafas kubuang dengan kasar. Saat kesadaranku bermuara : aku tak mau
kehilanganmu. Ternyata disana, bagian paling dasar hatiku memiliki cinta,
untukmu Sun. Salah satu sahabat terbaik yang sudah Tuhan kirim untukku.
Tidak. Tak ada kata terimakasih yang akan kuucapkan. Karena kutahu tak cukup. Kata itu tak cukup. Aku tidak tahu dengan cara apa cinta ini harus kuekspresikan. Aku yang pemetafora, maka aku hanya bisa menghambur-hamburkan kata-kata.
~Teh Mega~
Kuawali paragraf ini dengan senyum sederhana. Tubuhku masih tegap
dihadapan layar laptop, namun ingatanku sudah tak ditempatnya. Melayang pada
malam itu. Saat kali pertama kita menyibak belukar untuk mengenal-Nya. Malam
yang kukatakan, salah satu malam paling penting dalam hidupku. Kita bertukar
kisah, bertukar air mata, bertukar doa, dan entah apa lagi.
Kita sibuk merajuk pada Tuhan agar berkenan membagi kasih-Nya untuk
kita yang lemah. Dan hari-hari berikutnya adalah hari-hari penuh pengertianmu,
Teh. Hari-hari penuh kebaikanmu. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku tentang
kuasa Tuhan menolong hamba-Nya. Berbagai keajaiban kupelajari, tak lain dari
kisah hidupmu. Apa lagi yang harus kupunya selain rasa syukur telah dipertemukan
denganmu yang begitu luar biasa. Hingga dengan sangat perlahan, tapi penuh
kepastian terdeteksi juga rasa itu. Rasa cinta yang bersembunyi di bagian
hatiku, di palungnya mungkin.
Aku juga tak akan mengucapkan terimakasih. Karena sudah jelas tak
memadai kata itu. Aku tidak tahu dengan
cara apa cinta ini harus kuekspresikan. Aku yang pemetafora, maka aku hanya
bisa menghambur-hamburkan kata-kata.
~Teh Nie~
Berapa lama kita bersama? Belum lama. Aku pun belum mengenalmu dengan
purna, aku yakin begitu pun dengan dirimu. Tapi, singkatnya waktu tak jadi
soal. Toh, aku tetap merasa kau
adalah kakak, kadang ibu, apa pun itu. Yang pasti dari dirimu aku banyak belajar.
Kau pun adalah salah satu alasan untuk lebih giat membuat esokku lebih baik.
Kau selalu datang dengan prestasi baru, dengan hafalan yang jumlahnya selalu
membuat aku sesak, dengan kesungguhan yang berujung iri di sisi-sisi hatiku,
ingin sekali mengejarmu pada garis “finish” kebaikan. Berlomba. Menyenangkan
punya rival sekaligus kakak sepertimu.
Kiranya kita mengamini bahwa pepatah jawa itu benar adanya, “witing
tresno jalaran soko kulino”. Aku terbiasa dengan segala kebaikanmu,
perhatianmu, keberadaanmu, dan Tuhan berikan sejumput cinta. Jangan tanya pada
bagian hati yang mana, aku tak tahu. Yang pasti tersimpan baik disini,
dihatiku.
Sekarang apa yang harus aku ucapkan? Terimakasih? Ah, terlalu sederhana kata itu jika harus diberikan atas kesediannmu membersamaiku. Aku tidak tahu dengan cara apa cinta ini harus kuekspresikan. Aku yang pemetafora, maka aku hanya bisa menghambur-hamburkan kata-kata.
~Teh Sisy~
Hmm…jika aku boleh jujur, aku kehabisan stok kata-kata saat harus
mengembarakan imajiku tentang perempuan –yang dimataku- luar biasa ini. Pundas
sudah kata-kataku tenggelam dalam pesona. Kelurusan perilaku yang tak
terbantahkan. Aku yakin sun, Teh mega, Teh Nie sepakat denganku.
Kesadaranku terkumpul dengan purna saat Teh Sisy berangkat ke tanah suci. Ternyata jauh di hatiku yang paling sudut aku memiliki cinta, untuk Teh Sisy. Cinta yang entah sejak kapan ada disana. Ternyata saat jauh, saat digantikan…saat itulah aku sadar, kebersamaan ini telah mengajakku merasakan kenikmatan cinta yang sungguh manis. Melebihi coklat dan madu sekalipun. Lebih. Tentu lebih dari itu. “Teteh luar biasa memberi warna dalam hidupku.” Tak yakin aku menuliskan kalimat tadi. Karena sesungguhnya, kenyataannya lebih dari itu.
Lagi-lagi aku tak akan mengucapkan terimakasih. Tak cukup. Tak
memadai. Kuulangi sekali lagi, aku tidak tahu dengan cara apa cinta ini harus
kuekspresikan. Aku yang pemetafora, maka aku hanya bisa menghambur-hamburkan
kata-kata.
Kini aku sungguh-sungguh belajar dari semut rangrang. Yang dilakukannya
hanya satu; saling menopang untuk menyebrangi jurang. Begitulah ukhuwah
mengajarkan kita, karena kita adalah saudara.
~Icha Planifolia~
Indahnya silaturahim...
BalasHapusVisit me, OK
:)
HapusInsya Allah....