Tahun-tahun memang telah
berlalu. Bayangmu memang sudah lama tak nampak di hadapanku. Kau tentu
tidak tahu bahwa kau menitipkan kisah yang bahagia meski tak sempurna.
Kau pun -mungkin- tak tahu bahwa kau meninggalkan luka yang memang tak
dalam, tapi cukup menyakitkan.
Kesadaran penuh akan takdir-Nya lah yang membuat aku bertahan. Tak gusar meski kau tinggalkan tanpa alasan. Mata ini sempat basah memang saat tatapanku bertumbukan dengan sebuah cincin yang melingkar manis di jari manisku. Terngiang kalimat sederhana...indah namun perih terasa kini saat aku mengingatnya.
"Aku ingin punya istri seperti ibuku.", kau terdiam beberapa jenak saat itu. Aku masih setia menunggu. Wajah teduhmu itu telah lama memerangkap hatiku. "Dan aku menemukan sebagian sifat ibuku ada padamu, tapi sebagiannya lagi rasanya ada pada yang lain."
Aku bungkam. Tak sepatah kata pun sanggup kuucapkan. Ada sebuah perasaan yang tak terdefinisi yang menyerangku seketika. Aku ingat kita bicara ditemani temaramnya lampu kafe yang tenang, diiringi musik instrumental. Sesekali kau lempar pandanganmu ke sekitar. Sesekali kau bunuh waktu dengan berkali-kali meminum minuman yang terhidang. Aku masih tak hendak bicara. Hingga muncul keberanian yang entah dari mana.
"Jadi bagaimana posisiku di hidupmu?", aku tak menemukan perbendaharaan kata yang lain untuk menanyakan perihal kejelasan hubungan kita.
"Entahlah. Sampai saat ini aku masih meminta yang terbaik pada Tuhan."
Aku menghela nafas. Kau mengajakku meninggallkan kafe itu. Mengisyaratkan agar aku mengikuti langkah-langkahmu yang tenang. Kau mempersilakan aku memasuki mobil lebih dulu. Kelembutan sikap yang selalu membuat aku semakin tak bisa membebaskan diri dari jerat pesonamu.
Mobil yang kau kemudikan berhenti persisi di muka pagar rumahku. Kau mengantar aku turun dari mobil. Aku membuka pintu pagar perlahan. Segera aku membalikkan badan tak ingin kehilangan momen untuk menangkap wajah teduhmu sebelum kau pulang. Kau masih disana, di muka pagar rumahku.
"Mau mampir dulu?", tanyaku ragu. Kau menggeleng pelan. Aku menganggukan kepala megnhormati pilihanmu. "Terima kasih sudah mengantar, aku masuk." Aku membalikkan badan. Belum satu langkah kakiku bergeser, kau memanggilku. Aku memutar badan menghadap ke arahmu. Kau mendekat dan menyodorkan sebuah bungkusan coklat.
"Apa ini?", tanya yang hanya kau jawab dengan senyum. Senyum yang kukira tak bisa aku lupa.
"Aku pamit pulang.", dan kau berlalu.
Setibanya di kamar dengan segenap rasa penasaran kubuka perlahan bungkusan coklat yang kau berikan. Aku tertegun dan kembali diserang perasaan yang tak terdefinisi. Sebuah cincin polos tergeletak manis didalam bungkusan itu. Aku memakainya perlahan di jari manisku.
Dan malam ini mataku kembali basah saat pandanganku bertumbuk dengan cincin itu. Aku melirik tangan kananku yang masih menggenggam erat sebuah kartu berwarna hitam yang ditulis dengan tinta emas. Kueja sekali lagi. Aku hafal betul namamu. Dan jelas aku tak keliru membaca, namamu tertulis di kartu tersebut. Namun, ada sebuah nama. Nama perempuan yang dihubungkan dengan kata "DAN" di bawah namamu. Dan nama perempuan itu bukanlah namaku. Aku tersenyum getir. Pada akhirnya Tuhanlah yang kuasa menentukan takdir.
"Semoga pernikahanmu penuh barokah.", bisikku lirih.
Kamar sunyi, 08 Maret 2012
21.13
Kesadaran penuh akan takdir-Nya lah yang membuat aku bertahan. Tak gusar meski kau tinggalkan tanpa alasan. Mata ini sempat basah memang saat tatapanku bertumbukan dengan sebuah cincin yang melingkar manis di jari manisku. Terngiang kalimat sederhana...indah namun perih terasa kini saat aku mengingatnya.
"Aku ingin punya istri seperti ibuku.", kau terdiam beberapa jenak saat itu. Aku masih setia menunggu. Wajah teduhmu itu telah lama memerangkap hatiku. "Dan aku menemukan sebagian sifat ibuku ada padamu, tapi sebagiannya lagi rasanya ada pada yang lain."
Aku bungkam. Tak sepatah kata pun sanggup kuucapkan. Ada sebuah perasaan yang tak terdefinisi yang menyerangku seketika. Aku ingat kita bicara ditemani temaramnya lampu kafe yang tenang, diiringi musik instrumental. Sesekali kau lempar pandanganmu ke sekitar. Sesekali kau bunuh waktu dengan berkali-kali meminum minuman yang terhidang. Aku masih tak hendak bicara. Hingga muncul keberanian yang entah dari mana.
"Jadi bagaimana posisiku di hidupmu?", aku tak menemukan perbendaharaan kata yang lain untuk menanyakan perihal kejelasan hubungan kita.
"Entahlah. Sampai saat ini aku masih meminta yang terbaik pada Tuhan."
Aku menghela nafas. Kau mengajakku meninggallkan kafe itu. Mengisyaratkan agar aku mengikuti langkah-langkahmu yang tenang. Kau mempersilakan aku memasuki mobil lebih dulu. Kelembutan sikap yang selalu membuat aku semakin tak bisa membebaskan diri dari jerat pesonamu.
Mobil yang kau kemudikan berhenti persisi di muka pagar rumahku. Kau mengantar aku turun dari mobil. Aku membuka pintu pagar perlahan. Segera aku membalikkan badan tak ingin kehilangan momen untuk menangkap wajah teduhmu sebelum kau pulang. Kau masih disana, di muka pagar rumahku.
"Mau mampir dulu?", tanyaku ragu. Kau menggeleng pelan. Aku menganggukan kepala megnhormati pilihanmu. "Terima kasih sudah mengantar, aku masuk." Aku membalikkan badan. Belum satu langkah kakiku bergeser, kau memanggilku. Aku memutar badan menghadap ke arahmu. Kau mendekat dan menyodorkan sebuah bungkusan coklat.
"Apa ini?", tanya yang hanya kau jawab dengan senyum. Senyum yang kukira tak bisa aku lupa.
"Aku pamit pulang.", dan kau berlalu.
Setibanya di kamar dengan segenap rasa penasaran kubuka perlahan bungkusan coklat yang kau berikan. Aku tertegun dan kembali diserang perasaan yang tak terdefinisi. Sebuah cincin polos tergeletak manis didalam bungkusan itu. Aku memakainya perlahan di jari manisku.
Dan malam ini mataku kembali basah saat pandanganku bertumbuk dengan cincin itu. Aku melirik tangan kananku yang masih menggenggam erat sebuah kartu berwarna hitam yang ditulis dengan tinta emas. Kueja sekali lagi. Aku hafal betul namamu. Dan jelas aku tak keliru membaca, namamu tertulis di kartu tersebut. Namun, ada sebuah nama. Nama perempuan yang dihubungkan dengan kata "DAN" di bawah namamu. Dan nama perempuan itu bukanlah namaku. Aku tersenyum getir. Pada akhirnya Tuhanlah yang kuasa menentukan takdir.
"Semoga pernikahanmu penuh barokah.", bisikku lirih.
Kamar sunyi, 08 Maret 2012
21.13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar