Selasa, 20 Maret 2012

Kepada Pendampingku (Dimanapun Engkau Berada Kini)

Malam baru memulai perjalanannya. Masih di awal. Lantunan merdu dari sebuah speaker tak jauh dari rumahku belum lama terdengar. Kami gegas menyongsong panggilan itu. Khidmat. Hening. Melalui suara sang imam semua orang dikomando untuk mengubah gerakan. Berdiri tegak. Membungkuk. Bersujud. Usai mengucapkan salam setiap orang tenggelam dalam dialog dengan Tuhan. Entah apa yang disampaikan. Mengadu mungkin, atau mengeluh, merajuk, merayu, memuji, memohon, apapun itu. Dialog itu yang pasti akan sangat berharga bagi setiap pribadi.

Pintu kamarku diketuk beberapa kali. Aku membukanya perlahan. Bapak menyungging senyum. “Mau ngobrol?”, sebuah pertanyaan yang sebenarnya bersifat wajib. Artinya ada hal yang ingin bapak sampaikan, namun demi terjaganya azas demokrasi kewajiban itu dibalut dalam bentuk pertanyaan. Tanpa rasa keberatan aku mengangguk. Mengikuti langkah-langkah bapak menuju ruang depan.

Disinilah kami sekarang. Duduk berhadapan di ruang depan. Sesekali bapak mendekatkan gelas berisi kopi susu ke mulutnya, meneguknya perlahan. Terlihat nikmat sekali.

“Tidak terasa ya…kamu sudah besar.”, bapak menjeda kalimatnya. Aku masih menunggu. Mencoba menerka kemana arah pembicaraan ini akan bermuara. “Nak, menurutmu memilih itu harus antara dua atau lebih, atau ketika berhadapan dengan satu hal pun kita dapat memilih?”

Mendengar pertanyaan bapak keningku berlipat-lipat. Sama sekali tidak faham. Melihat ekspresi bingung di wajahku bapak tersenyum. Menyandarkan badannya pada senderan kursi, lalu merubah pertanyaannya.

“Kamu sudah besar, Nak, cepat atau lambat kamu akan harus memutuskan…”, bapak berdehem. “Memutuskan akan menerima pinangan seseorang.”, aku mulai bisa melihat kemana bapak mengemudikan laju pembicaraan ini. Aku masih mendengarkan dengan seksama. “Apa yang akan kamu lakukan saat ada yang datang meminang?”

Aku diam. Berfikir. Meski ini hanya obrolan antara aku dengan bapak, tapi kali ini aku merasa seolah sedang dalam lomba dimana tiap jawabanku dinilai oleh juri.

“Tentu aku akan mempertimbangkannya baik-baik.”

“Pertimbangannya seperti apa sampai kau memutuskan iya atau tidak?”

“Hmm…dilihat dari perilakunya…karena perilaku adalah cerminan kualitas iman dan ilmu seseorang, itu yang dipesankan nabi…”, khawatir keliru kutambahkan, “bukan begitu, Pak?”

Bapak manggut-manggut. “Bagaimana jika ada dua orang laki-laki yang perilakunya sama-sama baik dan keduanya datang meminangmu?”

Aku terdiam. Memandang dengan penuh harap kepada bapak, berharap segera diberikan solusinya jika hal itu benar-benar terjadi.

“Nak, dengarkan ini baik-baik, jangan pernah lupa melibatkan kekuatan Dzat yang Maha Menggenggam diri kita dalam setiap keputusan yang akan kita ambil. Berdialoglah dengan-Nya, adukanlah segala hal yang kau tidak memiliki ilmu tentang langkah apa yang harus kau ambil. Tidak hanya saat ada diantara dua pilihan. Satu pun toh hakikatnya kita sedang memilih ‘iya’ atau ’tidak’, maka kita jangan pernah sok tahu, selalu libatkan pengetahuan Tuhan yang tak terbatas.”

Aku mengangguk. Faham. “Tapi Pak…bagaimana kelak aku bisa tahu bahwa pilihanku tepat?”, demi mendengar pertanyaanku bapak terkekeh.

“Bapak punya cerita untukmu. Dulu, seorang kawan bapak sudah sampai usia yang cukup untuk menikah. Dia adalah laki-laki yang sangat lurus perilakunya. Saat hendak menikah pun, dia tidak mengotori kebersihan perilakunya dengan hal-hal yang memang Tuhan belum izinkan. Dia cukup percaya dengan sebuah kalimat ‘Kang, wanita ini adalah wanita baik-baik’. Baginya penilaian orang lain akan jauh lebih objektif dibandingkan pandangannya yang mungkin dipengaruhi perasaan. Dia menyetujui untuk menikahi wanita tersebut. Suatu saat, kawan bapak ini pergi ke luar kota. Di perjalanan pulang dia bertemu dengan seorang gadis, selintas, betul-betul hanya selintas. Gadis ini berasal dari daerah yang sama dengan calon yang diajukan oleh sehabatnya. Dia bimbang. Kebimbangan yang sama sekali tidak difahaminya. Karena dia tidak mengenal gadis ini, kenapa harus difikirkan. Namun, perasaan dia bicara hal berbeda. Tak ada lagi yang dilakukannya kecuali terus berdialog dengan Tuhan, pasrah. Entah bagaimana hatinya sangat condong pada gadis yang bahkan belum dikenalnya. Alhasil diputuskannya untuk membatalkan pinangan pada gadis yang sebelumnya, dia bergegas mencari rumah gadis yang dijumpainya selintas, meminang, dan menikahinya. Semua serba mudah karena dimudahkan oleh Tuhan.”, bapak berhenti sejenak. “Ada kalimat yang selalu Bapak ingat, kawan Bapak ini pernah berkata, bukan cinta yang membuat kita dapat hidup bersama selamanya dengan pasangan kita, tetapi kasih sayang dan kerelaan Tuhan atas diri kita dan pasanganlah yang membuat kita bisa bertahan bersama pasangan. Maka sangat penting berdialog dengan Tuhan saat kita akan mengambil sebuah keputusan. Apapun itu.”, sebuah senyum terukir di bibir bapak. Mungkin tengah nostalgia dengan kawan lamanya.

Diam-diam sesudut hatiku berkali-kali mengucap syukur. Betapa aku merasa kuyup dengan kasih sayang bapak. Betapa kesungguhan dalam penjagaan diriku ini menyatakan cinta yang tak terbantahkan. Bapak tengah memastikan aku tak keliru melangkah.

“Oh iya Nak, boleh Bapak minta tolong sesuatu?”, aku mengangguk mantap. Tentu saja. Mana mungkin aku akan sanggup menolak permintaan bapak, sementara kasih yang nyata telah ditunjukannya. Bapak tersenyum lega mellihat anggukan mantapku. “Bapak minta pengertianmu…”, bapak berhenti sejenak, meneguk kopi susu yang tinggal sedikit hingga tandas. “Kelak jika kau menikah bapak tak akan siapkan resepsi megah untukmu.”

Mata bapak menyusuri wajahku, mencari perubahan ekspresi yang mungkin muncul mendengar pernyataannya. Aku belum menunjukkan ekspresi apa pun, masih menunggu.

“Bapak hanya akan menyiapkan sebuah aula mesjid. Disana calon imam-mu akan mengucap janji tentang amanah yang akan dipikulnya, tentang takdir yang akan dijalaninya bersamamu. Seluruh tamu undangan hanya boleh datang saat pengucapan janji tersebut…saat akad pernikahan diucapkan, karena setalah itu tak akan ada acara apa pun. Setelah usai akad kita semua akan makan bersama sebagai ungkapan bahagia, setelah itu acara selesai.”, kembali bapak mencermati wajahku. “Apakah kau keberatan?”

“Apakah memang harus begitu?”

Bapak tersenyum. “Kamu jangan salah faham! Bukan Bapak tak menyayangimu, bukan Bapak tak faham bahwa menikah adalah momen yang mungkin tak akan dilupakan seumur hidup, tapi kita telah berjanji bahwa kita akan menghidupkan sunnah nabi.”

“Kalau begitu aku merasa cukup dengan apa yang Bapak tawarkan tadi.”, ucapku dengan senyum mengembang. Menahan haru. Semakin terasa siraman kasih bapak kepadaku. Bapak balas tersenyum.

Ada perasaan yang sulit sekali aku jabarkan menyergapku tiba-tiba. Debar aneh. Harap-harap cemas menanti keputusan Tuhan atas diriku.

“Nak, kelak jika ada laki-laki dengan perilaku yang baik mencerminkan iman dan ilmunya, melangkahlah kalian, jangan hiraukan perbekalan, jika manusia harus menyiapkan bekal di awal untuk perjalanan maka tidak begitu dengan logika Tuhan. Tuhan butuh manusia yakin dan melangkah baru kemudian Dia akan memberikan bekal pada kita di perjalanan. Yakinlah akan pertolongan Tuhan maka hidupmu tak akan pernah terasa kurang.”
***
Kepada pendamping hidupku…imamku…dimanapun engkau berada kini…
Kau sudah mengetahui bukan bagaimana aku dan keluargaku menunggumu? Bahwa kami tak akan tanyakan seberapa besar rumahmu, seberapa banyak kendaraan atau perusahaan yang kau miliki, kami hanya butuh tahu kau siap menjadi imam dengan segala kelurusan lakumu.

Kau sudah mengetahui bukan bagaimana aku dan keluargaku menunggumu? Bahwa kami tak akan tanyakan darahmu merah atau biru. Kami hanya butuh tahu kau siap menjadi imam dengan segala kelurusan lakumu.

Kau sudah tahu bukan bagaimana aku dan keluargaku menunggumu? Bahwa kami tak akan memperdebatkan tentang kulitmu yang putih atau coklat, tak akan meributkan tentang matamu yang sipit atau tidak. Kami hanya butuh tahu kau siap menjadi imam dengan segala kelurusan lakumu.

Kepada pendampingku…imamku…dimanapun engkau berada kini…
Jika kau telah merasa siap untuk menambah satu lagi amanah dalam hidupmu yang akan mengundang kasih sayang Tuhan ini, datanglah!
Jangan kau risaukan tentang diri yang belum mapan atau pekerjaan yang masih serabutan, karena Tuhan akan memberikan bekal saat kita sudah mulai berjalan.
Aku disini selalu mendoakanmu. Datanglah! Agar kita dapat berdoa bersama untuk impian dan kebahagiaan kita.

Ditulis dengan penuh cinta
(walau tak sempurna)
Nisa





Kamar sunyi, 11 Maret 2012      00.04
Icha Planifolia

#Terimakasih untuk Mama, Bapak, dan Ustadz Firman atas didikan yang luar biasa dan kasih sayang yang tak pernah habis…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar