Pintu
kamarku diketuk beberapa kali. Aku membukanya perlahan. Bapak menyungging
senyum. “Mau ngobrol?”, sebuah pertanyaan yang sebenarnya bersifat wajib.
Artinya ada hal yang ingin bapak sampaikan, namun demi terjaganya azas
demokrasi kewajiban itu dibalut dalam bentuk pertanyaan. Tanpa rasa keberatan
aku mengangguk. Mengikuti langkah-langkah bapak menuju ruang depan.
Disinilah
kami sekarang. Duduk berhadapan di ruang depan. Sesekali bapak mendekatkan
gelas berisi kopi susu ke mulutnya, meneguknya perlahan. Terlihat nikmat
sekali.
“Tidak
terasa ya…kamu sudah besar.”, bapak menjeda kalimatnya. Aku masih menunggu.
Mencoba menerka kemana arah pembicaraan ini akan bermuara. “Nak, menurutmu
memilih itu harus antara dua atau lebih, atau ketika berhadapan dengan satu hal
pun kita dapat memilih?”
Mendengar
pertanyaan bapak keningku berlipat-lipat. Sama sekali tidak faham. Melihat
ekspresi bingung di wajahku bapak tersenyum. Menyandarkan badannya pada
senderan kursi, lalu merubah pertanyaannya.
“Kamu
sudah besar, Nak, cepat atau lambat kamu akan harus memutuskan…”, bapak
berdehem. “Memutuskan akan menerima pinangan seseorang.”, aku mulai bisa
melihat kemana bapak mengemudikan laju pembicaraan ini. Aku masih mendengarkan
dengan seksama. “Apa yang akan kamu lakukan saat ada yang datang meminang?”
Aku
diam. Berfikir. Meski ini hanya obrolan antara aku dengan bapak, tapi kali ini
aku merasa seolah sedang dalam lomba dimana tiap jawabanku dinilai oleh juri.
“Tentu
aku akan mempertimbangkannya baik-baik.”
“Pertimbangannya
seperti apa sampai kau memutuskan iya atau tidak?”
“Hmm…dilihat
dari perilakunya…karena perilaku adalah cerminan kualitas iman dan ilmu
seseorang, itu yang dipesankan nabi…”, khawatir keliru kutambahkan, “bukan
begitu, Pak?”
Bapak
manggut-manggut. “Bagaimana jika ada dua orang laki-laki yang perilakunya
sama-sama baik dan keduanya datang meminangmu?”
Aku
terdiam. Memandang dengan penuh harap kepada bapak, berharap segera diberikan
solusinya jika hal itu benar-benar terjadi.
“Nak,
dengarkan ini baik-baik, jangan pernah lupa melibatkan kekuatan Dzat yang Maha
Menggenggam diri kita dalam setiap keputusan yang akan kita ambil. Berdialoglah
dengan-Nya, adukanlah segala hal yang kau tidak memiliki ilmu tentang langkah
apa yang harus kau ambil. Tidak hanya saat ada diantara dua pilihan. Satu pun toh hakikatnya kita sedang memilih ‘iya’
atau ’tidak’, maka kita jangan pernah sok
tahu, selalu libatkan pengetahuan Tuhan yang tak terbatas.”
Aku
mengangguk. Faham. “Tapi Pak…bagaimana kelak aku bisa tahu bahwa pilihanku
tepat?”, demi mendengar pertanyaanku bapak terkekeh.
“Bapak
punya cerita untukmu. Dulu, seorang kawan bapak sudah sampai usia yang cukup
untuk menikah. Dia adalah laki-laki yang sangat lurus perilakunya. Saat hendak
menikah pun, dia tidak mengotori kebersihan perilakunya dengan hal-hal yang
memang Tuhan belum izinkan. Dia cukup percaya dengan sebuah kalimat ‘Kang,
wanita ini adalah wanita baik-baik’. Baginya penilaian orang lain akan jauh
lebih objektif dibandingkan pandangannya yang mungkin dipengaruhi perasaan. Dia
menyetujui untuk menikahi wanita tersebut. Suatu saat, kawan bapak ini pergi ke
luar kota. Di perjalanan pulang dia bertemu dengan seorang gadis, selintas,
betul-betul hanya selintas. Gadis ini berasal dari daerah yang sama dengan
calon yang diajukan oleh sehabatnya. Dia bimbang. Kebimbangan yang sama sekali
tidak difahaminya. Karena dia tidak mengenal gadis ini, kenapa harus
difikirkan. Namun, perasaan dia bicara hal berbeda. Tak ada lagi yang
dilakukannya kecuali terus berdialog dengan Tuhan, pasrah. Entah bagaimana
hatinya sangat condong pada gadis yang bahkan belum dikenalnya. Alhasil
diputuskannya untuk membatalkan pinangan pada gadis yang sebelumnya, dia
bergegas mencari rumah gadis yang dijumpainya selintas, meminang, dan
menikahinya. Semua serba mudah karena dimudahkan oleh Tuhan.”, bapak berhenti
sejenak. “Ada kalimat yang selalu Bapak ingat, kawan Bapak ini pernah berkata,
bukan cinta yang membuat kita dapat hidup bersama selamanya dengan pasangan
kita, tetapi kasih sayang dan kerelaan Tuhan atas diri kita dan pasanganlah
yang membuat kita bisa bertahan bersama pasangan. Maka sangat penting berdialog
dengan Tuhan saat kita akan mengambil sebuah keputusan. Apapun itu.”, sebuah
senyum terukir di bibir bapak. Mungkin tengah nostalgia dengan kawan lamanya.
Diam-diam
sesudut hatiku berkali-kali mengucap syukur. Betapa aku merasa kuyup dengan
kasih sayang bapak. Betapa kesungguhan dalam penjagaan diriku ini menyatakan
cinta yang tak terbantahkan. Bapak tengah memastikan aku tak keliru melangkah.
“Oh
iya Nak, boleh Bapak minta tolong sesuatu?”, aku mengangguk mantap. Tentu saja.
Mana mungkin aku akan sanggup menolak permintaan bapak, sementara kasih yang
nyata telah ditunjukannya. Bapak tersenyum lega mellihat anggukan mantapku.
“Bapak minta pengertianmu…”, bapak berhenti sejenak, meneguk kopi susu yang
tinggal sedikit hingga tandas. “Kelak jika kau menikah bapak tak akan siapkan
resepsi megah untukmu.”
Mata
bapak menyusuri wajahku, mencari perubahan ekspresi yang mungkin muncul
mendengar pernyataannya. Aku belum menunjukkan ekspresi apa pun, masih
menunggu.
“Bapak
hanya akan menyiapkan sebuah aula mesjid. Disana calon imam-mu akan mengucap
janji tentang amanah yang akan dipikulnya, tentang takdir yang akan dijalaninya
bersamamu. Seluruh tamu undangan hanya boleh datang saat pengucapan janji
tersebut…saat akad pernikahan diucapkan, karena setalah itu tak akan ada acara
apa pun. Setelah usai akad kita semua akan makan bersama sebagai ungkapan
bahagia, setelah itu acara selesai.”, kembali bapak mencermati wajahku. “Apakah
kau keberatan?”
“Apakah
memang harus begitu?”
Bapak
tersenyum. “Kamu jangan salah faham! Bukan Bapak tak menyayangimu, bukan Bapak
tak faham bahwa menikah adalah momen yang mungkin tak akan dilupakan seumur
hidup, tapi kita telah berjanji bahwa kita akan menghidupkan sunnah nabi.”
“Kalau
begitu aku merasa cukup dengan apa yang Bapak tawarkan tadi.”, ucapku dengan
senyum mengembang. Menahan haru. Semakin terasa siraman kasih bapak kepadaku.
Bapak balas tersenyum.
Ada
perasaan yang sulit sekali aku jabarkan menyergapku tiba-tiba. Debar aneh.
Harap-harap cemas menanti keputusan Tuhan atas diriku.
“Nak,
kelak jika ada laki-laki dengan perilaku yang baik mencerminkan iman dan
ilmunya, melangkahlah kalian, jangan hiraukan perbekalan, jika manusia harus
menyiapkan bekal di awal untuk perjalanan maka tidak begitu dengan logika
Tuhan. Tuhan butuh manusia yakin dan melangkah baru kemudian Dia akan
memberikan bekal pada kita di perjalanan. Yakinlah akan pertolongan Tuhan maka
hidupmu tak akan pernah terasa kurang.”
***
Kepada pendamping hidupku…imamku…dimanapun
engkau berada kini…
Kau sudah mengetahui bukan bagaimana aku dan
keluargaku menunggumu? Bahwa kami tak akan tanyakan seberapa besar rumahmu,
seberapa banyak kendaraan atau perusahaan yang kau miliki, kami hanya butuh
tahu kau siap menjadi imam dengan segala kelurusan lakumu.
Kau sudah mengetahui bukan bagaimana aku dan
keluargaku menunggumu? Bahwa kami tak akan tanyakan darahmu merah atau biru.
Kami hanya butuh tahu kau siap menjadi imam dengan segala kelurusan lakumu.
Kau sudah tahu bukan bagaimana aku dan
keluargaku menunggumu? Bahwa kami tak akan memperdebatkan tentang kulitmu yang
putih atau coklat, tak akan meributkan tentang matamu yang sipit atau tidak.
Kami hanya butuh tahu kau siap menjadi imam dengan segala kelurusan lakumu.
Kepada pendampingku…imamku…dimanapun engkau
berada kini…
Jika kau telah merasa siap untuk menambah satu
lagi amanah dalam hidupmu yang akan mengundang kasih sayang Tuhan ini,
datanglah!
Jangan kau risaukan tentang diri yang belum
mapan atau pekerjaan yang masih serabutan, karena Tuhan akan memberikan bekal
saat kita sudah mulai berjalan.
Aku disini selalu mendoakanmu. Datanglah! Agar
kita dapat berdoa bersama untuk impian dan kebahagiaan kita.
Ditulis dengan
penuh cinta
(walau tak
sempurna)
Nisa
Kamar sunyi,
11 Maret 2012 00.04
Icha
Planifolia
#Terimakasih
untuk Mama, Bapak, dan Ustadz Firman atas didikan yang luar biasa dan kasih sayang
yang tak pernah habis…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar