Mataku bergerak-gerak merayapi gelap. Di kamar yang tidak terlalu 
luas ini aku menunggu. Dinding kamar yang berwarna ungu mengkilap tak 
tampak. Sengaja kumatikan lampu yang menggantung di tengah atap kamar 
ini. Menyeruput ketenangan sempurna dalam gelap.
"Assalamu'alaikum.", sebuah suara.
Dijawab oleh suara berat milik bapak. "Wa'alaikumsalam."
Dijawab oleh suara berat milik bapak. "Wa'alaikumsalam."
Kucermati dengan seksama. Kubuka lebar-lebar telinga demi tak satupun dialog yang terlewat.
Dialog
 antara bapak dengan seorang perempuan -yang tak lain adalah ibuku- 
terus mengalir. Aku mendengar bisikan suara ibu menanyakan aku. Aku 
menunggu. Menunggu. Terus menunggu. Kulihat telepon genggamku, bukan 
untuk melihat apapun, sekedar ingin mengetahui sudah jam berapa ini. Ah...sudah setengah sepuluh malam.
 Aku masih menunggu. Bapak dan ibuku masih terus bicara. Banyak hal yang
 mereka bicarakan. Maklum sudah dua hari ibu tidak di rumah karena ada 
urusan dinas. Sisa-sisa harapan itu masih ada di hatiku yang paling 
sudut.
Lampu ruang tengah dimana bapak dan ibu bicara dimatikan. Gelap. Pertanda bapak dan ibu sudah beranjak tidur. Tes...jatuh sudah butir-butir bening di pipiku. Mataku basah. Hatiku jauh lebih basah.
Sederhana
 saja, aku hanya ingin ibu mengetuk kamarku. Duduk di kasur, disamping 
aku yang sedang berbaring mengemas harap. Ingin sekali diusapnya lembut 
kepalaku. Sangat kutunggu bisikan lembut darinya, sekedar sebuah doa 
sederhana di hari ini, saat aku bertambah usia.
Karam sudah harapanku. Tak pernah terjadi apa yang aku bayangkan. Malam mendekapku dalam kecewa.
***
Pagi buta...
Kupaksakan
 tubuhku bangkit dari balik selimut, menyelesaikan kewajiban -atau 
mungkin lebih tepatnya kebutuhan- kepada Tuhan.Kudapati bapak baru saja 
menutup Al-Quran. Demi dilihatnya aku muncul dari balik pintu kamar, 
bapak tersenyum lembut kepadaku. Aku berlalu menuju kamar mandi. 
Kubasuhkan air pada tangan, berkumur dan kubasuh hidung. Kualirkan juga 
air pada wajah, lengan sampai sikut, rambut, telinga, dan kaki. 
Kesegaran sempurna sudah merayapiku.
Kutenggelamkan diriku dalam dialog panjang dengan Tuhan.
Aku
 gegas mencari ibu. Setiap sudut rumah kucermati. Dapur, kamar mandi, 
ruang tengah, ruang tamu, kamar tidur, tak kujumpai ibu. Kucari ke teras
 rumah. Hanya kudapati bapak tengah duduk di kursi rotan, dengan segelas
 kopi yang asapnya masih mengepul di meja yang terletak di samping 
kirinya."Ibu kemana, Pak?"
Bapak nampak terkejut dengan 
kehadiranku yang tiba-tiba. Aku abai dengan ekspresi kaget yang terlihat
 jelas di wajah bapak. Kuulangi pertanyaanku."Ibu kemana, Pak?"
Bapak
 menghadiahkan senyum hangat terlebih dahulu untukku sebelum 
merampungkan rasa penasaranku. "Ibumu sudah berangkat sejak shubuh tadi 
sebelum kamu bangun. Ibu masih harus kembali ke tempat pelatihan, kan tugas dinasnya belum selesai."
Aku tak merasa perlu berkomentar. Aku berlalu meninggalkan bapak. Kuambil telepon genggam yang masih tertidur manis di kasur.
Bu...titipan untuk teman ibu yang harus aku antar disimpan dimana?
Kukirimkan
 pesan singkat pada ibu. Beberapa hari yang lalu ibu berpesan agar hari 
ini aku menyampaikan titipan barang untuk salah satu 
temannya.Dilemari,Nis...Di dus coklat.
Begitu pesan singkat balasan dari ibu.
***
Bel istirahat berbunyi.
Sekolah
 ku ini terletak tak jauh dari rumah. Beberapa penjual makanan di 
sekolahku adalah tetanggaku. Aku mempercepat langkah kakiku menuju 
sebuah warung makanan milik tetanggaku. Nasi goreng pedas manis 
dilengkapi dengan tempe goreng terus membayangiku sejak masih di 
kelas tadi. Perutku keroncongan.
"Bu, saya mau nasi goreng sama tempe 
ya."
"Loh, Neng Nisa kok ada disini? Gak ikut ke rumah sakit?"
"Ke rumah sakit untuk apa?"
"Bukannya ibunya Neng Nisa kecelakaan?"
Tubuhku oleng.
***
Perjalanan
 menuju rumah sakit ini terasa begitu lambat. Mataku sembab. Mobil yang 
mengantar aku ke rumah sakit seperti tak bergerak. Lambat sekali 
rasanya. Rasa khawatir dan menyesal terlanjur membekapku tanpa ampun.
Akhirnya
 disinilah aku sekarang, kujumpai wajah bapak dan kakekku yang didekap 
khawatir luar biasa di koridor rumah sakit. Bapak mengisyaratkan agar 
aku segera masuk ruangan dimana ibuku sedang di rawat.
Kudapati
 ibuku terkulai lemah. Ranjang dengan sprei putih itu memerah. Darah 
terus merembes. Mataku basah. Menurut keterangan dokter, tempurung lutut
 ibuku pecah, tulang paha dan betisnya 
patah.                                                                                      
***
Tiga jam sebelumnya...
Telepon di rumahku berdering. Bapak menerima telepon itu. Ternyata suara ibu di sebrang sana.
"Pak, Ibu dapat musibah."
"Kenapa, Bu? Ada apa?", bapak panik.
"Tenang,
 Pak...Ibu tidak apa-apa. Ibu kecelakaan, Pak. Tapi Bapak jangan 
khawatir! Ibu baik-baik saja. Sekarang Bapak susul saja Ibu, Ibu sedang 
dalam perjalanan ke rumah sakit."
***
Aku
 peluk ibu. Air mataku membasahi wajahnya. Begitu juga dengan air mata 
ibu. Bercampurlah segenap kasih kami dengan perantaraan air mata. Namun 
itu tak berlangsung lama. Ibu segera tersenyum.
"Tadi saat
 perjalanan sebuah truk gandeng menabrak motor  ibu. Ibu terpental. Saat
 ibu lihat kaki ibu kok bengkok, ibu sadar patah, bahkan urat tampak 
jelas karena dagingnya koyak. " ibu menjeda kalimatnya untuk sekedar 
menarik nafas. Mataku basah. Hatiku gerimis. "Kamu tahu Nis, semalam ibu
 nunggu kamu keluar kamar. Ibu berharap kamu menyambut ibu dengan 
gembira karena sudah dua hari kita tidak bertemu.", Hatiku bukan hanya 
gerimis, seperti ada badai bergemuruh. Menyadari telah ada salah faham 
antara aku dan ibu. "Tadi pagi saat Nis sms Ibu, Ibu sedang terbaring di
 pinggir jalan, sudah lima belas menit sejak kecelakaan terjadi, tapi 
belum ada yang menolong.", sempurna sudah sesalku. Nelangsa aku 
mendengar kisah yang ibu urai dengan senyum. "ibu tahu Nis mengira Ibu 
lupa tanggal berapa kemarin..."
Cukup. Aku sudah tak 
perduli tanggal berapa. Hari apa. Apapun itu tentang aku. Aku hanya 
perduli ibu dan kesembuhan ibu sekarang. Lelah rasanya berjibaku dengan 
rasa sesal. Ditambah dengan kisah yang ibu tutup dengan kalimat..."Nis 
perlu tahu Ibu selalu ingat dan sayang sama Nis..."Terjerambab kini aku 
dalam gelapnya sesal sekaligus rasa sayang.
***
Rumahku
 Surgaku, 17 Maret 2012
22.11

Tidak ada komentar:
Posting Komentar