Selasa, 20 Maret 2012

Kado Berharga Dari Tuhan


Mataku bergerak-gerak merayapi gelap. Di kamar yang tidak terlalu luas ini aku menunggu. Dinding kamar yang berwarna ungu mengkilap tak tampak. Sengaja kumatikan lampu yang menggantung di tengah atap kamar ini. Menyeruput ketenangan sempurna dalam gelap.

"Assalamu'alaikum.", sebuah suara.
Dijawab oleh suara berat milik bapak. "Wa'alaikumsalam."

Kucermati dengan seksama. Kubuka lebar-lebar telinga demi tak satupun dialog yang terlewat.

Dialog antara bapak dengan seorang perempuan -yang tak lain adalah ibuku- terus mengalir. Aku mendengar bisikan suara ibu menanyakan aku. Aku menunggu. Menunggu. Terus menunggu. Kulihat telepon genggamku, bukan untuk melihat apapun, sekedar ingin mengetahui sudah jam berapa ini. Ah...sudah setengah sepuluh malam. Aku masih menunggu. Bapak dan ibuku masih terus bicara. Banyak hal yang mereka bicarakan. Maklum sudah dua hari ibu tidak di rumah karena ada urusan dinas. Sisa-sisa harapan itu masih ada di hatiku yang paling sudut.

Lampu ruang tengah dimana bapak dan ibu bicara dimatikan. Gelap. Pertanda bapak dan ibu sudah beranjak tidur. Tes...jatuh sudah butir-butir bening di pipiku. Mataku basah. Hatiku jauh lebih basah.

Sederhana saja, aku hanya ingin ibu mengetuk kamarku. Duduk di kasur, disamping aku yang sedang berbaring mengemas harap. Ingin sekali diusapnya lembut kepalaku. Sangat kutunggu bisikan lembut darinya, sekedar sebuah doa sederhana di hari ini, saat aku bertambah usia.

Karam sudah harapanku. Tak pernah terjadi apa yang aku bayangkan. Malam mendekapku dalam kecewa.

***

Pagi buta...

Kupaksakan tubuhku bangkit dari balik selimut, menyelesaikan kewajiban -atau mungkin lebih tepatnya kebutuhan- kepada Tuhan.Kudapati bapak baru saja menutup Al-Quran. Demi dilihatnya aku muncul dari balik pintu kamar, bapak tersenyum lembut kepadaku. Aku berlalu menuju kamar mandi. Kubasuhkan air pada tangan, berkumur dan kubasuh hidung. Kualirkan juga air pada wajah, lengan sampai sikut, rambut, telinga, dan kaki. Kesegaran sempurna sudah merayapiku.

Kutenggelamkan diriku dalam dialog panjang dengan Tuhan.

Aku gegas mencari ibu. Setiap sudut rumah kucermati. Dapur, kamar mandi, ruang tengah, ruang tamu, kamar tidur, tak kujumpai ibu. Kucari ke teras rumah. Hanya kudapati bapak tengah duduk di kursi rotan, dengan segelas kopi yang asapnya masih mengepul di meja yang terletak di samping kirinya."Ibu kemana, Pak?"

Bapak nampak terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba. Aku abai dengan ekspresi kaget yang terlihat jelas di wajah bapak. Kuulangi pertanyaanku."Ibu kemana, Pak?"

Bapak menghadiahkan senyum hangat terlebih dahulu untukku sebelum merampungkan rasa penasaranku. "Ibumu sudah berangkat sejak shubuh tadi sebelum kamu bangun. Ibu masih harus kembali ke tempat pelatihan, kan tugas dinasnya belum selesai."

Aku tak merasa perlu berkomentar. Aku berlalu meninggalkan bapak. Kuambil telepon genggam yang masih tertidur manis di kasur.

Bu...titipan untuk teman ibu yang harus aku antar disimpan dimana?

Kukirimkan pesan singkat pada ibu. Beberapa hari yang lalu ibu berpesan agar hari ini aku menyampaikan titipan barang untuk salah satu temannya.Dilemari,Nis...Di dus coklat.

Begitu pesan singkat balasan dari ibu.

***

Bel istirahat berbunyi.

Sekolah ku ini terletak tak jauh dari rumah. Beberapa penjual makanan di sekolahku adalah tetanggaku. Aku mempercepat langkah kakiku menuju sebuah warung makanan milik tetanggaku. Nasi goreng pedas manis dilengkapi dengan tempe goreng terus membayangiku sejak masih di kelas tadi. Perutku keroncongan.

"Bu, saya mau nasi goreng sama tempe ya."

"Loh, Neng Nisa kok ada disini? Gak ikut ke rumah sakit?"

"Ke rumah sakit untuk apa?"

"Bukannya ibunya Neng Nisa kecelakaan?"

Tubuhku oleng.

***

Perjalanan menuju rumah sakit ini terasa begitu lambat. Mataku sembab. Mobil yang mengantar aku ke rumah sakit seperti tak bergerak. Lambat sekali rasanya. Rasa khawatir dan menyesal terlanjur membekapku tanpa ampun.

Akhirnya disinilah aku sekarang, kujumpai wajah bapak dan kakekku yang didekap khawatir luar biasa di koridor rumah sakit. Bapak mengisyaratkan agar aku segera masuk ruangan dimana ibuku sedang di rawat.

Kudapati ibuku terkulai lemah. Ranjang dengan sprei putih itu memerah. Darah terus merembes. Mataku basah. Menurut keterangan dokter, tempurung lutut ibuku pecah, tulang paha dan betisnya patah.                                                                                      
***

Tiga jam sebelumnya...

Telepon di rumahku berdering. Bapak menerima telepon itu. Ternyata suara ibu di sebrang sana.

"Pak, Ibu dapat musibah."

"Kenapa, Bu? Ada apa?", bapak panik.

"Tenang, Pak...Ibu tidak apa-apa. Ibu kecelakaan, Pak. Tapi Bapak jangan khawatir! Ibu baik-baik saja. Sekarang Bapak susul saja Ibu, Ibu sedang dalam perjalanan ke rumah sakit."

***
Aku peluk ibu. Air mataku membasahi wajahnya. Begitu juga dengan air mata ibu. Bercampurlah segenap kasih kami dengan perantaraan air mata. Namun itu tak berlangsung lama. Ibu segera tersenyum.

"Tadi saat perjalanan sebuah truk gandeng menabrak motor  ibu. Ibu terpental. Saat ibu lihat kaki ibu kok bengkok, ibu sadar patah, bahkan urat tampak jelas karena dagingnya koyak. " ibu menjeda kalimatnya untuk sekedar menarik nafas. Mataku basah. Hatiku gerimis. "Kamu tahu Nis, semalam ibu nunggu kamu keluar kamar. Ibu berharap kamu menyambut ibu dengan gembira karena sudah dua hari kita tidak bertemu.", Hatiku bukan hanya gerimis, seperti ada badai bergemuruh. Menyadari telah ada salah faham antara aku dan ibu. "Tadi pagi saat Nis sms Ibu, Ibu sedang terbaring di pinggir jalan, sudah lima belas menit sejak kecelakaan terjadi, tapi belum ada yang menolong.", sempurna sudah sesalku. Nelangsa aku mendengar kisah yang ibu urai dengan senyum. "ibu tahu Nis mengira Ibu lupa tanggal berapa kemarin..."

Cukup. Aku sudah tak perduli tanggal berapa. Hari apa. Apapun itu tentang aku. Aku hanya perduli ibu dan kesembuhan ibu sekarang. Lelah rasanya berjibaku dengan rasa sesal. Ditambah dengan kisah yang ibu tutup dengan kalimat..."Nis perlu tahu Ibu selalu ingat dan sayang sama Nis..."Terjerambab kini aku dalam gelapnya sesal sekaligus rasa sayang.

***

Rumahku Surgaku, 17 Maret 2012
22.11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar