Rindu selalu membekapku. Keteguhannya untuk terus memeluk batinku,
membawa langkah-langkahku untuk selalu kembali pulang ke rumah sederhana ini,
tak perduli telah sejauh apapun aku merantau di luar sana. Bangunan ini tentu
tak memadai untuk disebut bagus apalagi mewah, namun rasa rindu yang sangat
selalu dengan magis menarikku kembali kesini. Di balik dinding rumah yang mulai
mengusam inilah aku dibesarkan.
Rindu selalu melingkarkan tangannya yang halus pada kedalaman hatiku.
Membawa diriku kembali menemui dua orang yang kini sudah tak muda lagi. Dua
orang yang tulangnya mulai merapuh, langkahnya mulai melemah. Mereka yang
mungkin bagi banyak orang terkesan sangat biasa, namun selalu ada rindu yang megah
kumiliki untuk mereka. Dari merekalah pertama kali aku berlajar tentang
kehidupan.
Disinilah aku kini, menyelesaikan rindu yang menyiksaku dalam pertemuan-pertemuan yang tertahan.
Lepas isya, lelaki yang kini sudah mulai menapaki usia lebih dari setengah abad berjalan menuju serambi. Diambilnya posisi duduk di tempat favoritnya. Rambutnya banyak sudah yang mulai memutih. Aku memanggilnya bapak. Ada jutaan kasih kumiliki untuknya, meski mungkin tak senilai dengan bermilyar bahkan bertrilyun kasih yang dimilikinya untukku.
Aku mengikuti langkahnya menuju serambi. Kuambil posisi duduk disamping
meja yang menjadi sekat antara kami.
“Nis, Bapak punya sesuatu.”, aku mengernyitkan dahi.
“Apa, Pak?”
“Sebentar...”, kalimat bapak menggantung. Bapak bangkit dari duduknya.
Tak berapa lama, bapak kembali dengan ‘sesuatu’ di genggamannya. Aku diliputi
rasa penasaran. “Ini untukmu.”, kata bapak kemudian seraya menyodorkan sebuah
kotak berbentuk persegi panjang. Warnanya yang keemasan memberi kesan kotak itu
bernilai. Setelah membagi senyum hangat yang selalu aku rindukan, bapak berlalu
meninggalkan aku yang masih memandangi kotak itu.
Kubuka perlahan. Didalam kotak tersebut terdapat sebuah foto. Sepertinya
foto itu sudah cukup tua usianya. Foto itu memuat gambar seorang bayi gemuk
sedang tengkurab. Dapat kukenali
bahwa itu adalah aku.
Ternyata tidak hanya satu, masih ada foto lain disana. Masih foto seorang
bayi –lebih tepatnya balita mungkin- yang sudah mulai bisa berdiri. Sepertinya
foto itu di ambil saat bayi gemuk itu berusia satu tahun. Namun, kali ini sang
bayi tak sendirian, bayi itu berdiri dipegangi seorang perempuan muda. Dapat
kukenali bahwa itu adalah aku dan ibuku. Sesungging senyum terpahat di bibirku melihat dua foto itu.
Tidak selesai sampai disana. Masih terdapat sebuah kertas yang terlipat
rapi. Dengan rasa penasaran yang sangat kubuka lipatan kertas tersebut.
Untuk Ananda, Nisa
Terlebih dahulu kusampaikan rindu yang
selalu menemuiku tiap malam. Saat kau jauh disana menuntut ilmu. Bukan hanya
aku, ibumu pun selalu disergap rindu yang hebat, hingga bahagia tak dapat kami
hindari saat kau kembali hadir di rumah ini, seperti saat ini.
Aku
tersenyum haru membaca satu paragraf tulisan bapak. Rasa penasaran semakin
menyerbuku. Kembali kuedarkan pandang mataku pada huruf-huruf yang ditulis oleh
tangan bapak, meski tulisan bapak tak bisa dikatakan bagus, tapi cukup rapi
untuk dapat kubaca dengan baik. Dan yang terpenting cukup membuatku semakin
mencintai bapak.
Nak, kau pernah melihat matahari terbit
lalu tenggelam di sore hari? Atau kau pernah melihat bunga mekar kemudian layu?
Atau kau pernah melihat daun segar di tangkai pohon sebelum akhirnya jatuh
berguguran? Tidakkah kau melihat kenisbian, Nak? Semua serba sementara.
Anakku, begitulah sesungguhnya hidup.
Suatu saat kita akan kedatangan ‘tamu’. ‘Tamu’ ini akan menjemput kita
meninggalkan segala kefanaan menuju hidup yang kekal. Pertemuan dengan ‘tamu’
ini yang kita namakan kematian.
Jangan gegas merasa takut mendengar kematian, Nak! Tak perlu pula kau khawatir. Karena perasaan semacam itu tidak akan membuatmu terhindar darinya. Itu hanya fase dari siklus hidup yang pasti kita lalui. Ya...berpisahnya jiwa dengan raga pasti akan kita alami. Perpisahan ini mengantarkan raga kita kembali menyatu dengan tanah, sementara jiwa kita kembali pada Tuhan yang memilikinya.
Kita akan dihadapkan dengan sebuah
penantian panjang, Anakku. Menanti pengadilan yang paling adil. Jiwa kita akan
berada di sebuah tempat yang gelap dan sepi. Lengang. Sendiri. Tak ada
keluarga, tak ada kerabat. Akan ada berbagai perasaan menyergap kita. Mungkin perasaan
kesepian, ketakutan, kekhawatiran, dan perasaan lain –entahlah- apalagi. Kau
tahu dimana penantian panjang itu, Nak? Nun disana...di alam barzakh, Sayang.
Aku berhenti
sejenak. Kuhembuskan nafas yang tiba-tiba terasa berat. Lalu kubiarkan mataku
kembali menyusuri kata demi kata yang mengajakku tamasya ke tempat yang antah
berantah.
Tenang, Anakku. Kau tidak perlu
khawatir. Tempat itu dapat berubah menjadi tempat yang terang, juga akan ada
yang dengan senang hati menemani. Bukan. Bukan aku atau ibumu. Meskipun kau tak
perlu ragukan cinta kami. Kami sungguh sangat mencintaimu. Tapi bukan kami yang
dapat menemani.
Setiap kebaikan yang kau ukir, Nak...mereka
akan setia menemanimu. Sisa malam yang kau habiskan dengan memuji dan
mengagungkan Tuhan, atau waktu terik siang dimana kau rela untuk menjeda
aktivitasmu demi bersujud pada Tuhan, atau waktu dini hari dengan dingin yang
menyucuk kau lewati dengan bibir basah menyebut nama Tuhan. Itu semua akan
setia menemani dan menerangi, Nak.
Kau pasti bertanya-tanya untuk apa aku menulis ini. Karena ada hal yang sangat penting yang perlu kusampaikan padamu, Anakku. Aku memang tak mampu menemanimu dalam penantian panjang menunggu putusan Tuhan atas diri kita, pun ibumu tak mampu menamanimu. Sebaliknya denganmu, Anakku sayang. Kau akan bisa menemani kami disana. Maka, kali ini kukatakan padamu Nak, kami sangat membutuhkanmu. Kami butuh kau menemani kami kelak.
Kami butuh kau tumbuh dan menua dalam
kelurusan perilaku, Sayang. Karena hanya itu yang bisa menjadi jembatan, saat
aku atau ibumu sudah lebih dulu menemui Tuhan. Rajukanmu tentang keselamatan
kami akan didengar Tuhan, jika kau terus hidup dalam kelurusan perilaku. Kelak,
itu akan menjadi lampu bagi kami, sehingga penantian panjang yang harus dilalui
aku dan ibumu tak terlalu mencekam.
Sekali lagi kusampaikan padamu, aku dan
ibumu membutuhkanmu, Nisa sayang. Membutuhkan Nisa yang tumbuh dan menua dalam
kelurusan perilaku. Juga membutuhkan kesediaanmu untuk merajuk setiap saat pada
Tuhan, untuk terus merengek pada Tuhan
agar ampunan dan keselamatan menghampiri kami, aku dan ibumu.
Ditulis dengan penuh cinta
Juga berurai sejuta doa
Bapak
Hatiku gemuruh. Ada perasaan yang tak mampu aku jabarkan. Aku dikepung
perasaan syukur, tegang, semangat, dan banyak perasaan lain yang turut serta
mengepungku. Aku merasa disiram dengan lebih dari bertrilyun kasih sayang. Aku
juga merasa dibawa melayang ke medan perang, dihadapan musuh yang aku tak punya
pilihan lain kecuali menang. Seketika tumbuh daya juang yang luar biasa dalam
diriku.
Kupandangi sekali lagi gambar bayi yang tampak
lucu, yang tak lain adalah aku dua puluh tahun yang lalu. Lirih batinku
berucap. Aku berjanji aku akan menemani bapak dan ibu dalam penantian panjang
itu. Dan aku pun akan memastikan, aku memiliki teman dalam penantian panjang
itu.
Butir-butir bening yang tak kufahami mengapa
harus berebut keluar, akhirnya kubiarkan membuat basah pipiku. Kunikmati
selaksa rasa yang tak terdefinisi ini. Satu hal yang kufahami dengan penuh
kesadaran, bahwa segenap syukur akan selalu kulantukan pada Tuhan karena
bersedia mentakdirkan aku didampingi oleh bapak dan ibu. Dua orang yang selalu
memastikan aku berada dalam kelurusan perilaku.
Tak kusadari bapak sudah ada disampingku.
Disentuhnya pelan pundakku. Kudongakkan wajahku. Mata teduh bapak menembus
manik mataku, mengantar trilyunan kasih. Kuletakkan kertas berisi tulisan bapak
yang menyulut bara di dadaku. Bara yang menjadi bekal untuk tumbuh dan menua
dalam kelurusan perilaku, seperti yang dikatakan bapak.
Kini aku berdiri tepat di hadapan bapak.
Lelaki yang jadi perantaraan keberadaan aku di dunia. Lelaki inilah yang
kutinggalkan selama berbulan-bulan demi menuntut ilmu. Dari bibirnyalah ada
kumandang doa yang tak kering untukku. Aku menghambur ke pelukan bapak. Aku
benar-benar kuyup dengan kasih sayang bapak.
Kamar Sunyi, 24 Maret 2012
23.07
Tidak ada komentar:
Posting Komentar