Setiap hari kelebat
bayangmu muncul.
Aku memang belum
mengenalmu. Belum kuketahui dari rahim siapa kau dilahirkan, lalu dalam kondisi
seperti apa kau dibesarkan. Belum kuketahui seperti apa aktivitasmu atau
bagaimana teman-temanmu. Pun aku belum mengetahui bagaimana perangaimu
sesungguhnya. Kutegaskan sekali lagi aku belum mengenalmu.
Belasan hari sudah
berlalu sejak kali pertama aku bertemu denganmu. Walaupun sebagian mengatakan
bahwa generasi muda hari ini adalah generasi gombal, tapi sungguh aku tak
berminat untuk menggombal. Hanya aku sangat tertarik untuk jujur padamu bahwa
hingga hari ini aku masih sanggup mengingat sorot matamu, senyummu, kulit
coklatmu, pakaian yang kau kenakan hari itu, dan seluruhnya. Seluruhnya tentang
dirimu hari itu, aku sanggup mengingatnya.
Aku sungguh masih
ingat sorot matamu yang menyandera rasa kagumku, senyum sahaja yang menawan
kecenderungan perasaanku, juga kata-katamu yang memenjarakan asaku dengan
purna. Hingga kini hatiku terpaut padamu yang bahkan belum aku kenal. Lalu
harus kurelakan hari-hariku didekap gelisah karena harus menggendong jutaan
harap. Juga karena rindu ini meringkusku tanpa ampun.
Sejujurnya aku
merasa ini gila. Bagaimana bisa aku harus cenderung padamu yang baru satu kali
kujumpai, itu pun tak sengaja. Bahkan kita tak sempat berkenalan secara
langsung. Aku hanya tahu bahwa hari itu kau ada di hadapanku, sebaliknya kau
tahu aku ada dihadapanmu. Tak ada sapaan khusus. Tak ada bertukar nama apalagi
nomor telepon. Tak ada. Aku tahu namamu karena temanmu menyebutkannya, dan itu terlalu jelas hingga dapat kudengar
dengan baik. Kini, dalam kamar mungilku aku menikmati kegilaan ini. Menikmati
proses menggilai dirimu dalam diam.
Juga disini -di kamar mungil ini- terkadang kuhabiskan sisa malam untuk berbincang dengan Tuhan. Sekedar merengek agar Tuhan selalu melindungimu yang tak nampak di mataku. Atau di lain waktu aku merajuk agar jika aku yang sangat biasa ini layak berdiri disampingmu yang luar biasa, semoga Tuhan bersedia mengizinkan aku dan kau berdiri berdampingan. Mengarungi sisa takdir bersama. Membagi rasa di sisa usia yang Tuhan beri. Tak jarang aku menangis, saat tiba-tiba perasaan serba tak pantas menyergapku. Saat kesadaran tentang diriku -yang tak cantik, tak terlalu cerdas, tak pandai memasak, dan berakhlaq sangat biasa- mengepungku, tak bisa lagi kuhindari air mata saat detik-detik seperti itu mengerubutiku. Dan dihadapanku bayangmu dengan sorot mata dan senyum sahajamu kembali muncul. Entah bagaimana rupa, aku yang tak mengenalmu bisa sedemikian percaya bahwa kau mampu. Mampu menopang perjalananku menyebrangi jurang, membimbingku hingga Tuhan menyatakan waktu kita habis. Mampu kembali menjemputku di taman –yang menurut kabar- indahnya tak terkatakan. Taman yang disiapkan Tuhan dengan tiket masuk yang sangat khusus.
Juga disini -di kamar mungil ini- terkadang kuhabiskan sisa malam untuk berbincang dengan Tuhan. Sekedar merengek agar Tuhan selalu melindungimu yang tak nampak di mataku. Atau di lain waktu aku merajuk agar jika aku yang sangat biasa ini layak berdiri disampingmu yang luar biasa, semoga Tuhan bersedia mengizinkan aku dan kau berdiri berdampingan. Mengarungi sisa takdir bersama. Membagi rasa di sisa usia yang Tuhan beri. Tak jarang aku menangis, saat tiba-tiba perasaan serba tak pantas menyergapku. Saat kesadaran tentang diriku -yang tak cantik, tak terlalu cerdas, tak pandai memasak, dan berakhlaq sangat biasa- mengepungku, tak bisa lagi kuhindari air mata saat detik-detik seperti itu mengerubutiku. Dan dihadapanku bayangmu dengan sorot mata dan senyum sahajamu kembali muncul. Entah bagaimana rupa, aku yang tak mengenalmu bisa sedemikian percaya bahwa kau mampu. Mampu menopang perjalananku menyebrangi jurang, membimbingku hingga Tuhan menyatakan waktu kita habis. Mampu kembali menjemputku di taman –yang menurut kabar- indahnya tak terkatakan. Taman yang disiapkan Tuhan dengan tiket masuk yang sangat khusus.
Ingin kuhempaskan
nafas ini sekuat yang kubisa. Sekedar agar harap dan rindu menjauh barang
sejengkal. Aku sungguh-sungguh tak tahu bagaimana cara menyampaikan padamu,
bahwa disini aku sangat menantikan kehadiranmu. Keterampilan terbaik yang
kumiliki saat ini adalah diam. Maka, aku mohon dengan sangat, jemputlah aku.
Aku mohon dengan sangat. Kau boleh berbagi sedikit kepercayaan denganku bahwa
aku akan telaten menunggumu.
Kamar Sunyi, 21
Maret 2012
13.34
jujur :)
BalasHapusmirip Syafura, putri Syu'aib as ketika pertama kali melihat Musa. Langsung terpikat dan hanya menyimpannya sampai sang Ayah dengan bijak mempertanyakan rasa itu, bahkan membantunya mengungkapkan pada Musa :)
tengok juga http://mataronis.blogspot.com/
kang roni...maaf ya baru saya balas...padahal udah lama bgt...
Hapus:)
Karena kami kaum hawa tidak punya wewenang seluas kaum adam, meskipun bunda khadijah memberi contoh...namun adat yang berlaku terlalu mengungkung..
Suka saya tengok kok rumah mayanya kang roni... :)
bagus bgd mewakili perasaan wanita2 dalam diam kerinduan kala sepi hehhe...bagus, aku gak nyesel kesni katanya double wow. masya Allah salam ukhuwah dan taaruf ukht.
BalasHapusWah "katanya" kata siapa itu? :D
HapusSalam kenal ya Annur El-Kareem :)
Suka banget tulisan ini..begitu menyentuh hingga jiwa diliputi haru
BalasHapusSalam kenal ya Icha...sungguh indah goresan penanya
Alhamdulillah...semoga manfaat...
HapusMasih belajar kok...
Salam kenal juga ya Mbak Yuni... :)