Minggu, 15 April 2012

Fajar, Aku Benci Kau Melakukan Ini


Angin bertiup sepoi siang itu. Mendung masih setia mengawal langit. Aku memilih kursi yang terletak di sisi kanan kafe ini. Kafe ini terletak di Bandung Utara, menawarkan panorama kota Bandung dari ketinggian. Kukira panorama itu lebih diminati daripada menu makanannya sendiri.

Beberapa kali kutarik nafas dalam. Membiarkan paru-paruku mengembang terdesak udara yang bukan main sejuknya. Kali ini aku memilih secangkir kopi sebagai teman menghabiskan siang. Sengaja aku memilih tempat ini : ingin menghindar dari hiruk pikuk aktivitas yang kadang menyesakkan. Sekedar memanjakan jiwa kukira.

Beberapa kali aku mendekatkan gelas ke bibirku. Lalu membiarkan hangatnya kopi memanjakan bibirku, lidahku, kerongkongan, hingga tak berasa apapun sampai kemudian tiba-tiba perutku merasa hangat.

Nafasku tertahan beberapa detik. Tanganku masih menggenggam cangkir kopi, tapi tidak kudekatkan ke bibir ataupun kusimpan di meja. Hanya kugenggam. Aku disergap…entah disergap apa. Bingung sempurna membalutku. Berkali-kali kutajamkan pandangan, jelas sudah pandanganku tak keliru.

Lelaki muda dengan celana jeans dan kaos, ransel yang tampak berat masih setia di bahunya. Dan lelaki itu ada dalam jarak yang sangat dekat, hanya disekat oleh meja. Jantungku nyaris terlonjak dari tempatnya. Gegas kukemasi gugup yang nyata sudah mengepungku.

“Kamu disini, sama siapa?”, sampai tanya itu terlontar, aku belum sepenuhnya kembali ke dunia nyata. Jiwaku masih tersesat di tempat antah berantah. “Nis!”, kulihat tangan bergerak-gerak persis di depan mataku.

“Ah..eung…iya..iya..kenapa?”

“Ngelamun ya?”, Tuhan, itu senyum? Benarkah kau membagi senyum itu untukku? Aku hanya balas tersenyum, tanpa bicara sepatah kata pun. Kau pun abai dengan jawaban yang tak kuberikan sepertinya. “Boleh aku duduk disini?”, aku hanya menjawab dengan anggukan, lagi-lagi tanpa ada kata terlontar.

Aku tak pernah membayangkan, setelah hari itu kita akan bertemu lagi. Sama sekali tak pernah terlintas dalam imajiku, kita akan duduk satu meja seperti ini.
Kegugupan itu sempurna sudah jadi milikku. Kau sungguh semena-mena membuatku salah tingkah begini, gerutuku dalam hati.

Kau masih cuek membolak-balik daftar menu. Setelah beberapa menit, kau memesan segelas kopi. Hei selera kita sama! Jangan tanyakan kenapa, tapi aku bahagia mendapati hal ini.

Kau membagi pandanganmu : aku, lalu kota Bandung. Terus begitu. Lalu tersenyum. Tak ada yang lucu menurutku. Aku tak berminat ikut tersenyum. Keringat membasahiku. Gugup masih betah mendampingiku.

Kau menarik nafas. Menghembuskannya. Beberapa kali kau lakukan. Sesekali kau memejam mata. Lalu tersenyum. Keningku berlipat melihat tingkahmu.
“Kamu kenapa?”, tanyaku akhirnya, setelah rasa heran sempurna melingkupiku.

Kau tersenyum, memandang bangunan nun jauh disana yang terlihat seperti kotak-kotak dari sini, lalu menatapku. Kau menatapku. Tatapanmu menghujam manik mataku. Aku benci kau melakukan itu, sempurna kegugupan mengerangkengku.

“Kau ikuti aku.”, katamu. Kau menarik nafas sambil memejam mata. Entah mengapa aku pasrah mengikutimu : menarik nafas sembari memejam mata.

“Menurutmu apa yang kita hirup?”

Sejenak aku diam. Mencoba menerka kemana pembicaraan ini akan kau bawa. Untuk kesekian kalinya aku menggerutu. Kau ini semena-mena sekali, ini kan baru kali kedua kita bertemu, tapi kau berbuat sesuka hatimu. Terlebih tahukah kau, dari jarak jauh begini kau sanggup mengaduk hatiku. Huh!

“Udara.”, jawabku kemudian.

Kau tersenyum, tampak puas dengan jawaban yang kuberikan. “Dan kau pasti tahu kalau kita butuh oksigen kan?”, aku mengangguk. “Menurutmu udara yang kita hirup keseluruhannya oksigen?”, kali ini aku menggeleng.

“Ada unsur lain, seperti nitrogen, helium, karbon dioksida.”

Kembali kau tersenyum, raut puas semakin tergambar jelas di wajahmu. “Kamu benar. Dan udara itu masuk dari hidung, tenggorokan, baru kemudian ke paru-paru. Setelah sampai paru-paru oksigen berikatan dengan darah, bukan?”, kau menjeda kalimatmu memberi ruang padaku untuk merespon. Hanya anggukan yang kuberikan. “Tapi kita tidak pernah repot untuk membedakan mana oksigen dan mana gas yang lain. Kita hirup udara yang beragam isinya, tapi sistem pernafasan kita sanggup melakukan seleksi otomatis.”, Kau berhenti sejenak. Memejam mata dan menghirup nafas dalam. “Bukankah ini nikmat? Betapa Tuhan begitu luar biasa mengatur semuanya.”, kau tutup kuliahmu yang tiba-tiba ini dengan senyum dan sejurus kemudian kau mulai sibuk menyeruput kopi yang asapnya masih mengepul.

Aku benci kau melakukan ini. Semena-mena sekali kau ambil perasaanku sekerat demi sekerat. Sekarang hatiku mulai hilang beberapa bagian. Aku juga tak tahu kau menyembunyikan bagian-bagian hatiku itu dimana. Fajar, aku benci kau melakukan ini.
Ini baru kali kedua kita bertemu, tidak sengaja.


Kamar Sunyi, 15 April 2012
~Icha Planifolia~

2 komentar:

  1. Menarik meski pun kadang harus berhenti karena tanda komanya nyatu, hee... tapi menurutku secara keseluruhan sudah dapat dipahami

    BalasHapus
    Balasan
    1. weh,,,ada kekeliruan pengetikan ya...
      akan saya perhatikan... :)

      makasih kang Qusay.... :)

      Hapus