Jika selama ini deskripsi untuk seorang lelaki baik adalah
rapi. Aku tak pernah menganggap begitu. Meski –mungkin- banyak laki-laki rapi
itu baik. Apapun itu, nyata bagiku tak begitu.
Kali pertama kita berjumpa kau anteng sekali dengan celana jeans coklat lusuhmu dan kaos. Ransel
yang tampak berat sekali setia bertengger di bahumu. Sepatu yang tak kalah
lusuh membalut kakimu.
“Fajar.”, singkat saja perkenalanmu.
Sekarang aku mengutuki kejadian itu. Kau tahu kenapa,
Fajar? Karena setelah hari itu, wajah dinginmu memasung asaku. Wajah dinginmu
menari di atap kamarku, membuat aku lupa bagaimana cara dibuai mimpi.
Aku seksamai dirimu hari itu. Kulitmu yang coklat
menunjukkan seringnya kau berada dibawah sengatan matahari. Wajah dan
kata-katamu yang lebih sering “dingin” membuat gelar “arogan” resmi disematkan
padamu.
Malam ini, di penghujungnya, aku masih setia merajuk pada Tuhan. Aku masih setia mendoakan keselamatanmu, Fajar. Entahlah. Mengapa aku melakukan ini? Mengapa diantara dinginnya malam yang menyucuk, aku menyengaja bangun, memilih merajuk pada Tuhan dan menanggalkan hangatnya selimut. Apakah ini untukmu? Aku tak punya stok jawaban. Aku sungguh tak tahu. Jadi, kumohon jangan pernah tanyakan. Biarkan aku membersamaimu dalam doa.
Aku pun masih tak tahu, benarkah cinta pada pandangan
pertama itu ada? Hanya ketidakmengertian yang mendekapku.
Benar-benar sibuk aku mencari alasan, kalau aku memang
jatuh cinta padamu Fajar, atas dasar apa itu terjadi? Kenapa aku harus
memberikan perasaanku padamu?, orang yang baru kujumpai satu kali dan baru
kukenal. Hening.
Ah, kukira aku perlu berdamai dengan keadaan. Toh tak semua hal di dunia ini butuh alasan.
Kamar Sunyi, 14 April 2012
~Icha Planifolia~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar