Berkali-kali kau membuang nafas dengan kasar. Rusuh sekali.
Ingin sekali aku bertanya : ada apa? Namun
aku tak mampu. Aku memang tak bisa melihatmu, semata karena stok energi yang
kupunya tak memadai meski sekedar untuk menggerakan kelopak mataku. Tanpa harus
melihatmu aku tahu kau masih disana : duduk sembari membuang nafas dengan
rusuh. Aku bisa merasakan dengan jelas kau masih di samping ranjangku.
“Nis,
kenapa tak pernah mengabari kalau kamu sakit?”, hening. “Maafkan aku baru
menjengukmu. Kenapa kamu menghilang empat bulan terakhir ini?”, selanjutnya hanya
nafas yang kau buang satu-satu yang terdengar.
Di tengah pertemanan kita yang
singkat ini, aku merasa berhutang banyak padamu, Nis. Nyatanya aku harus
mengakui bahwa banyak ‘kuliah’ yang kau berikan. Kuliah tentang ketelatenan dan
kesabaranmu. Hahaha
(tertawa hambar). Telaten sekali kau
menjadi temanku. Menemani aku yang kasar dan angkuh.
Kembali
kau membuang nafas kasar.
Kau tahu, Nis? Setelah senja terakhir
kita menikmati segelas cincau di taman kota, setelah kau menemaniku memilih
gaun, aku mencarimu. Sayangnya, setiap kali aku menghubungimu hanya suara
perempuan asing yang terdengar membosankan : nomor yang anda tuju tidak dapat
dihubungi.
Aku online berjam-jam. Tapi tidak
pernah ada bulatan hijau pada namamu yang menandakan kau pun sedang online.
Awalnya aku kebingungan kemana harus kukirim undangan pernikahan untukmu. Baru
kusadari betapa acuhnya aku padamu, tak pernah kutanyakan dimana alamat
rumahmu. Tapi…
Kemudian aku kebingungan untuk
mencari partner diskusi. Bukan, lebih tepatnya mungkin bercerita. Atau nyampah.
Ah! Entahlah…Aku mencarimu karena banyak hal ingin kuceritakan. Termasuk
tentang bagaimana aku dapat tetap waras menghadapi takdir.
Aku belajar banyak. Tentang cinta,
kesabaran, kebahagiaan, juga tentang Tuhan. Aku ingin membaginya denganmu…yang tiba-tiba
menghilang. Baru kali ini kurasa kau keterlaluan. Begitu lama menghilang dan
kini kau terbaring tanpa sepatah kata pun.
“Sebentar
lagi dokter akan memeriksa kondisimu. Aku pamit. Kuharap di pertemuan
berikutnya kita bisa berdiskusi seperti biasanya.”
Entah mengapa aku begitu tersiksa
melihat wajahmu yang pucat pasi. Seolah tak ada darah mengalir di sana. Entah
mengapa aku sedih melihat selang infus dihubungkan ke tanganmu. Entah mengapa
aku begitu menderita kehilangan kontak denganmu. Entah mengapa aku ingin sekali
tetap disini.
Suara
nafas yang kau buang dengan kasar kembali terdengar. Kemudian derit kursi yang
bergeser. Hingga dalam ketidakberdayaanku, aku merasa ruangan ini begitu sepi
setelah kepergianmu. Aku menggigil meski udara tidak dingin. Fajar…
***
Rumahku Surgaku, 17 Mei
2012
~Icha Planifolia~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar