Gambar diambil dari sini |
Kau sibuk sekali dengan kamera SLR-mu. Jepret sana-sini. Aku berkali-kali menggaruk kepalaku yang sama
sekali tidak gatal. Apa yang sedang kau lakukan? Aku mengedarkan pandang ke
sekeliling, sementara kau masih terus memotret.
Sekelompok orang dari salah satu ormas Islam membawa
spanduk-spanduk menentang perayaan Valentine. Halaman mall Bandung Indah Plaza ini
jadi semakin sesak : oleh pengunjung dan demonstran. Seorang lelaki muda
berorasi. Kau disana masih sibuk memotret. Aku disini mematung. Menyeksamai
yang kau lakukan. Tak bergeser sedikit pun. Tanpa permintaanmu, aku menyediakan
diri menunggu. Meskipun belum tentu kau menyadari keberadaanku.
Aku memilih bangku milik sebuah restoran fast food yang kebetulan di letakan di
luar. Kupesan minuman, sekedar agar aku legal duduk disini. Tak bosan aku
menyeksamai kau yang tampak sangat menikmati : ‘mengintip’ dan membuat ‘intipan’-mu
menjadi lukisan cahaya, foto. Kau masih berdiri disana meski tak lagi memotret.
Kau mengamati keadaan. Merasa puas memperhatikanmu, kutinggalkan minuman yang
masih tersisa setengahnya di dalam gelas.
Wajah mall yang menghadap toko buku ini menyajikan aneka
pilihan, aku memilih berbelok ke kanan. Berhenti di perempatan, sekedar
menunggu saat yang tepat untuk menyebrang. Kuanggukan kepala pada para
pengemudi, sebagai isyarat aku meminta waktu sejenak untuk lewat. Beruntung,
tanpa perlu menunggu lama angkot yang kubutuhkan tiba.
Persis di depan Taman Pramuka Lama, kuminta sang sopir
menghentikan laju angkot yang dikemudikannya. Aku berjalan santai memasuki
Taman Pramuka Lama sambil bayang-bayang Fajar dengan kamera SLR-nya kuputar
layaknya film dokumenter. Kupilih sebuah kursi yang dilindungi rimbun pohon,
menghadiahiku rasa sejuk. Seketika aku tenggelam dalam liarnya imajinasi dan panca
inderaku menajam : memperhatikan sekitar. Sejurus kemudian aku sibuk
mencoret-coret buku catatanku. Menangkap ide yang akan kukembangkan di layar
laptop setibanya di rumah nanti.
“Kenapa kabur sih?”, suara yang sangat kukenal. ‘Aktor’
dalam film dokumenterku tiba-tiba melakukan jumpa ‘fans’ mendadak, bahkan tanpa
sang ‘fans’ meminta. Amazing!
Tak berminat aku menanggapi pertanyaanmu, karena aku tak
merasa kabur. Taman ini memang destinasiku setelah mengunjungi toko buku.
“Aku boleh duduk disini ya?”, katamu sambil mengambil
tempat di ujung bangku. Menyisakan jarak denganku yang masih bisa diduduki oleh
dua orang. Tumben, sejak kapan kau
berlaku sopan, tak semena-mena.
Sebenarnya aku girang sekali kau duduk disana. Cukup kelelahan
aku menggendong rindu beberapa bulan ini, tentu saja tanpa kau tahu, tanpa aku bisa
berbuat apa-apa. Aku diam sambil rindu ini kugendong terus kemanapun aku pergi.
Pegal juga bahuku.
Kesiur angin menghalau terik siang itu. “Kau membuntutiku?”,
kataku akhirnya.
“Seperti juga kau memata-mataiku.” Jawabanmu menyebalkan.
Pipiku panas dibuatnya : merah. “Hahaha. Kukira tadi kau akan terus menungguku.”,
aku salah tingkah.
“Kau tidak kerja?”, aku coba mengalihkan pembicaraan.
“Tadi aku sedang bekerja.”, aku mengernyitkan dahi. “Oh
berapa lama kita tak bertemu? Aku sudah tak bekerja di tempat lama. I found my “calling”.”
“Panggilan hidup? Maksudmu jadi fotografer?”
“Jurnalis foto tepatnya.”, aku masih dikabut bingung. “Ya,
kantor lama tempatku bekerja memang memberi salary
yang cukup aduhai, tapi aku tidak merasa hidup disana. I alive when I take a pict…seperti kamu merasa jadi manusia saat
menulis.”
Aku tersenyum, mulai faham dengan yang kau alami. “Kamu
sungguh-sungguh ingin jadi travel writer ya?”, katamu saat melirik buku catatan
perjalanan dalam genggamanku. Aku mengangguk mantap.
“Aku ingin menyusup dalam nadi kehidupan dan menuliskannya.
Ingin mencicipi baluran debu jalan dan mencatatnya. Bukan mencatat nama obat
dan memesannya, bukan menandatangani form
yang menyatakan obat layak release ke
pasaran atau tidak, bukan membuat laporan obat narkotika dan psikotropika atau
sejenisnya, ya meskipun aku suka saat bisa memberi informasi kepada pasien,
satu-satunya yang kusuka : berinteraksi dengan pasien.”
“Hahaha. Itu juga kenapa aku memilih dunia fotografi. Aku
ingin melihat kehidupan.”, kau menarik nafas seperti mengambil ancang-ancang
untuk berlari ala sprinter. “Fotografi
adalah seni melihat. Karena fotografi
mengajarkan pada kita cara yang unik dalam melihat dunia dan sekaligus
memberikan penyadaran baru akan segala keindahan yang ada di sekitar kita : dalam
kehidupan sehari-hari manusia, pada secercah senyum tulus anak desa, pada
wajah-wajah yang bersimbah keringat di sawah atau ladang, dalam keagungan alam
semesta, pada sekuntum kembang rumput di tepi lubuk atau pada kerapuhan
lingkungan hidup di bumi di mana kita semua menjadi bagian yang tak
terpisahkan.”1
“Fotografi juga mengajarkan pada kita untuk melihat lebih
dalam, menggali makna dan memahaminya sehingga menumbuhkan rasa cinta yang
dapat menginspirasi untuk melangkah lebih jauh, melompat lebih tinggi, berlari
lebih kencang, berbuat lebih banyak dan melahirkan energi positif yang mampu
mejadi katalis perubahan ke arah yang lebih baik untuk semua.”1
Aku tergeragap. Tak pernah kuketahui kau memiliki minat
yang begitu besar pada dunia yang satu itu. Selama ini kukira kau menikmati
peranmu di perusahaan multi nasional itu.
“Ayahku wartawan. Beliau meninggalkan warisan sebuah
kamera, aku sangat mencintai warisan itu.”
“Warisan?”
Kau menerawang seolah menyusuri lorong panjang masa lalumu.
Sebuah senyum kau bagi untukku. “Ayahku meninggal saat meliput daerah konflik.
Tertembak.”
Kuberikan padamu tatapan simpati. Kuhadiahkan juga sebuah
ekspresi penyesalan atas kesedihan yang mungkin kau alami. Kesedihan yang
terpaksa kau kecap lagi saat menceritakannya padaku.
“Karena itu kau jadi jurnalis foto?”
“Bukan. Aku memilih ini karena aku mencintai…aku merasa
hidup dan bahagia saat mendengar suara shutter
kamera : cekrek..cekrek…cekrek.”
“Congratulation! For finding your “calling”.”
Merasa menjadi manusia…nyatanya banyak orang membutuhkan
perasaan itu. Butuh merasa hidup. Kembali aku mencatatkan beberapa hal dalam
buku kecilku. Kali ini kau meneguhkan kesimpulan itu, Fajar. Oranje Nassai
plein2 menjadi saksi kekagumanku yang semakin
beranak pinak padamu.
Rumahku Surgaku, 22 Mei 2012
~Icha Planifolia~
Cat :
1. Tulisan Deniek G Sukarya dalam buku Kumpulan Tulisan Fotografi, Kiat Sukses dalam Fotografi dan Stok Foto.
2. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda Taman Pramuka Lama disebut Oranje Nassai plein.
1. Tulisan Deniek G Sukarya dalam buku Kumpulan Tulisan Fotografi, Kiat Sukses dalam Fotografi dan Stok Foto.
2. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda Taman Pramuka Lama disebut Oranje Nassai plein.
Aku kira 'aku' itu teteh lho :)
BalasHapusMau dikira 'aku' itu Rania Wie juga boleh :)
Hapus