Tawa
terus berderai disela tangan yang tak henti memijat. Punggung perempuan itu
mulai kemerahan menerima pijatan. Masuk angin parah, begitu tutur sang nenek
yang masih bercerita sambil tertawa.
Mak Dahlan namanya. Ia begitu setia dengan
pekerjaan yang dilakoninya : tukang pijat. Pekerjaan yang sudah dilakoninya
sejak empat puluh empat tahun silam. Kesetiaan pada perjuangan hidup yang tak
perlu lagi diragukan.
Tuhan memang memberikan peran masing-masing
pada setiap manusia. Hingga terpilihlah
Mak Dahlan sebagai ‘aktris’ yang tepat untuk memerankan pekerjaan terpuji itu.
Bagiku pekerjaan Mak Dahlan sangat terpuji. Betapa tidak, karenanya banyak
orang terbantu kesehatannya, teringankan rasa sakitnya, tanpa perlu
mengeluarkan uang banyak, karena pada kenyataannya di desa ini banyak orang
yang kesulitan untuk membayar biaya berobat. Usai menikmati setengah jam
pijatan tangan Mak Dahlan niscaya badan terasa lebih segar.
Menjadi tukang pijat adalah hal yang mungkin
tak pernah direncanakan Mak Dahlan untuk dilakoninya. Sekitar tahun 1965 Mak
Dahlan bekerja untuk sebuah pabrik tenun. “Mak teh dulu jaga mesin tenun. Bikin
sarung...”, begitu tuturnya. Setiap jam istirahat banyak rekannya di pabrik
yang merasa kelelahan, mulai dari merasa pening hingga pegal-pegal. Mereka
kerap meminta tolong kepada Mak Dahlan untuk memijat, sekedar meringankan pegal
atau nyeri kepala yang mereka rasakan. Mak Dahlan tak pernah sekalipun menolak,
dengan senang hati Mak Dahlan membagi sisa energinya untuk memijat mereka. Alhasil,
jam makan siang berlalu tanpa Mak Dahlan sempat menyuapkan nasi sebagai
penghalau lapar.
Terlampau sering orang meminta tolong kepada
Mak Dahlan untuk memijat, akhirnya Mak Dahlan mengundurkan diri dari pabrik
tenun dan menjalani pekerjaan barunya : tukang pijat.
Saat pemerintah mengadakan program
transmigrasi, Mak Dahlan termasuk dari sekian banyak orang yang menjadi
transnmigran ke Sumatera. Ditinggalkannya kota kembang Bandung untuk menyambut
lahan seluas dua hektar pemberian pemerintah. “Mak kira teh Sumatera itu kota, ternyata hutan.”, terkekeh Mak Dahlan. “Disana
Mak nyangkul dan mijit, sampai sekarang terus mijit.”
Usianya kini sudah 84 tahun, namun tak ada
keluh kesah. Dengan rela dijalaninya pekerjaan yang membuat ibu jarinya bengkok
saking lamanya digunakan memijat. Dilakonina pekerjaan itu karena kecintaannya
pada hidup, pada cucu yang menjadi tanggungannya sepeninggal putra dan
suaminya.
Jika suatu hari kau tertakdir mengunjungi
desaku lalu bertemu dengan seorang perempuan tua, berkebaya dan bersinjang batik, begitu setia membagi
senyum bahkan tawa, serta sukarela menolong meringankan rasa sakit yang kau
rasa, begitu tegar, setia pada perjuangan hidup, maka kemungkinan dialah Mak Dahlan.
Rumahku Surgaku, 20 Mei 2012
~Icha Planifolia~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar