Sinar matahari senja memeluk daun jendela. Membagi hangat
pada kita yang masih mematung di beranda. Pohon jambu di halaman rumahku
tampaknya mulai jemu menyaksikan kita yang terus membisu. Beberapa kali
kutegakkan badanku. Lama sekali tak duduk denganmu hanya bersekat meja.
“Aku senang Tuhan mengabulkan doaku…”, kau mulai angkat
bicara. Aku mendongak, menunggu kelanjutan kalimatmu. “Aku minta agar pada
pertemuan berikutnya denganmu, kita bisa berdiskusi. Tak betah aku melihatmu
terbaring di rumah sakit.”
Aku hanya membagi senyum. Ada desir bahagia yang tak
mungkin kusampaikan. “Kenapa kau tak mengajak Sarah kemari?”
Aku heran, pertanyaan itu seperti penghisap darah. Wajahmu
tampak dingin, pasi, dan kaku. Lama sekali kita kembali bisu. Sama sekali aku
tak risau, aku mulai terbiasa, kini aku sanggup telaten menunggumu.
“Aku tidak jadi menikah dengannya.”
Keterkejutan itu kini kudaulat menjadi milikku. Kau
tersenyum hambar. Lalu tertawa. “Humor paling lucu memang mentertawakan hidup
kita…”, katamu disela tawa yang dipaksakan. “Dia meninggalkanku persis setelah
undangan pernikahan siap disebar. Hanya ada email permohonan maaf. Selebihnya…”,
kentara sekali kau meredam kecamuk batinmu. “Tak ada penjelasan yang kuterima.
Sarah dan keluarganya menghilang.”
“Tapi setelah itu, kusadari bahagia itu sederhana. Tak ada
lagi prasyarat bahagia yang kupunya, maka setiap kejadian membuatku bahagia.”,
katamu sambil tersenyum lebih jujur.
Aku sungguh tak tahu harus menghiburmu dengan cara apa. Tak
akan kurelakan kau larut dalam kesedihan, itu saja tekadku. Sejak membiarkan
perasaan lain tumbuh di hatiku, hal tersegera yang kutekadkan adalah membebaskan.
Membebaskanmu memilih hidup dan bahagia dengan segala yang membuatmu bahagia.
Terdengar klise memang, tapi ini sungguhan.
“Bahagia itu memang sederhana, Fajar. Saat Tuhan
menghadiahi aku sakit berkepanjangan aku tidak menjadikan sehat sebagai syarat
kebahagiaanku. Sebab dengan itu aku akan sedih sepanjang sakit. Tapi aku merasa
cukup bahagia saat menerima sms doa
dari teman, menerima telepon yang sangat menyemangati dari sahabat atau
keluarga, dengan begitu aku tahu Tuhan itu begitu adil, aku tetap diizinkan
bahagia…”.
Kau menatapku lama, lalu mengakhiri aksimu dengan senyum. “Kita
memang hanya butuh ‘mikroskop’…”, aku mengernyitkan dahi. “Dengannya kita dapat
melihat dengan jelas, sesuatu yang begitu kecil dan nyaris tak bermakna menjadi
penuh arti di bawah kaca ‘mikroskop’. ‘Perbesaran’ tertentu pada nikmat Tuhan mambuat
kita sujud penuh syukur. Menderitalah orang yang tak memiliki ‘mikroskop’,
karena nikmat sederhana yang Tuhan beri dalam keseharian jadi berlalu tanpa
makna.”
Aku mengamini dalam hati segala yang kau ucapkan.
“Dengan ‘mikroskop’ kau mampu mengusir rasa kehilangan?”,
kataku ragu-ragu.
“Hahaha…” (tertawa hambar). “Aku tak kehilangan apa pun.
Kugunakan perbesaran 100 kali lipat pada kondisi ini, melalui kaca 'mikroskop'-ku,
aku tahu aku keliru, ternyata elemen tubuh Sarah tidak Tuhan ambil dari tulang
rusukku, wajar saja jika Tuhan tak mengembalikannya padaku, bukan?”
Kuarahkan wajahku pada wajah senja yang jingga. Entah
mengapa, hari ini untuk pertama kalinya, hatiku mampu berkata dengan lantang :
Kiranya aku mencintaimu, Fajar.
Rumahku Surgaku, 19 Mei 2012
~Icha Planifolia~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar