Gambar diambil dari sini |
Senyumku
mengembang saat mataku menumbuk sebuah kata dalam buku Undang-Undang Kesehatan.
Kueja perlahan-lahan : Papaver somniferum.
Tanaman yang mungkin namanya tidak banyak dikenal orang. Namun, efeknya
luar biasa. Sebut saja morfin, zat yang
termasuk kelompok narkotika ini nyatanya diperoleh dari tanaman Papaver somniferum. Mampu melenyapkan
rupa-rupa rasa sakit, mampu meniadakan nyeri paling hebat sekalipun. Dan tentu
saja satu konsekuensi lain : menimbulkan ketergantungan, adiktif.
Seperti
itulah kiranya perasaan ini, Fajar. Dalam dekapan malam yang teramat hening,
kesadaranku menggenap. Inilah alasan aku tak merasakan sedikit pun sakit (atau
mungkin sanggup mengabaikannya) saat dahulu kau katakan akan menikahi seorang
gadis bernama Sarah. Nyatanya perasaan untukmu serupa morfin. Sanggup
melenyapkan aneka perih. Kutemukan pula jawab, pantas saja aku tak pernah jera
untuk mencintaimu, perasaan ini serupa ‘morfin’ : adiktif.
Kau? Tentu saja kaulah yang bertanggung jawab atas
semua ini. Kau si ‘Papaver somniferum’
yang menjadi muasal ‘morfin’. Ketiadaanmu membuatku mengalami abstinensia.
Sakaw.
Kali
yang lain aku kembali tersenyum, mataku berpapasan dengan sebuah kata : Xantin. Kali ini pada buku Dinamika Obat.
Tiba-tiba saja aku merasa kau bukan hanya si Papaver somniferum. Tetapi kau juga Xantin, ‘ayah’ dari Cafein.
Kaulah si Xantin yang dapat menstimulasi susunan saraf pusatku. Merangsang
pusat sensorik di otakku. Kau tahu apa yang kualami? Gembira, gelisah, sulit
tidur, ilusi, hingga halusinasi.
Suatu
ketika aku berkunjung ke kebun obat. Disana aku menemukanmu. Kaulah Kacang Polong
Rosary. Rosary pea. Inilah kiranya
yang membuat aku kukuh untuk terus mematung. Meski gejala abstinensia, sakaw,
sangat menyiksaku. Aku kukuh tak menyentuhmu, aku kukuh menyimpan kekagumanku
padamu, Wahai Kacang Polong Rosary! Karena sekali aku berani menyentuhmu,
berarti maut menantiku.
Kau
tak tampak berbahaya, bahkan cenderung terlihat manis. Tapi, zat bernama abrin
itu, yang kau biarkan ada dalam tubuhmu itu dapat membunuh sesiapa yang nekad
menenggakmu. Kutahu abrin-mu itu akan
membuatku demam, mungkin mual hingga mulutku berbusa. Tak cukup demikian, ia
akan membuatku kejang-kejang. Manisnya pesonamu, tak akan melalaikanku,
kusadari betul abrin-mu mampu menimbulkan pendarahan retina, aku tak mau
menjadi buta seketika. Juga kau tak dapat mengelak, abrin-mu sanggup membuat
ginjalku tak berdaya bahkan membuat keseluruhan tubuhku mengalami luka dalam.
Karena itulah, disini aku mematung, hanya menatapmu. Hanya mengakui bahwa kau
manis. Teramat manis. Tak hendak aku bergerak lebih dekat, tak hendak aku
mencicipi racun abrin-mu itu.
Hingga
hari ini aku masih mencari penawar. Dari rupa-rupa gejala yang mungkin kau
timbulkan. Apakah kiranya yang lebih mampu membuat cintaku tumbuh serupa rumput
liar, tak terkalahkan, tak terpatahkan, kecuali pernikahan?
Meski
demikian, kiranya harapan dan cinta serupa rumput liar itu sudah berjejalan di
antara paving blok hatiku. Tak pernah kau janjikan akan menyiramnya. Namun ia
dengan begitu bijaksana memanfaatkan beningnya air hujan. Sungguh, rasa ini
tumbuh tanpa kau minta.
Dan
di kesempatan yang lain, aku tengadah memandang langit. Kutemukan pula kau di
sana. Fajar, kau memang matahari. Jika kau bertanya, mengapa aku mempercayakan
perasaan ini padamu? Karena bersama matahari aku dapat terbakar, sehingga aku
akan terus belajar bagaimana bertahan, bagaimana berjuang, pun bagaimana
menghadapi takdir Tuhan yang kadang tak kuharapkan. Meski bukan kesejukan yang
kau hadiahkan, namun aku tahu pasti bersamamu aku dapat merasa aman. Tak ada
satu pun tangan yang akan mencederaiku, karena panasmu akan tersegera membakar
tangan itu sebelum bersentuhan dengan kulitku, bukan?
“Apa
pun kau, seperti apa pun dirimu, aku percaya padamu, Fajar."
Kamar Sunyi, 3 Juni 2012
~Icha
Planifolia~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar