“Kalau
sudah besar nanti boleh gak aku gak pakai jilbab?”
Bola
mata bening itu masih menunggu. Sang ibu yang diberi pertanyaan tiba-tiba
serupa itu masih menimbang, kiranya jawaban seperti apa yang harus
dikemukakannya pada gadis kecil itu. Dalam balutan seragam putih-merah, rambut
berkeringat dan bau matahari, gadis kecil itu bertanya dengan segenap
kepolosannya.
Sang
ibu akhirnya mengangguk. “Boleh.”, katanya kemudian.
“Betul,
Ma? Aku boleh gak pakai jilbab kalau sudah besar nanti?”, matanya mengerjap, menatap
jilbab sang ibu, menatap bola mata sang ibu, terus begitu bergantian.
Sang
ibu mengangguk sekali lagi, kali ini jauh lebih mantap. “Kalau kata Mama boleh
gak pakai jilbab, hmm…kalau kata Allah gak tahu…”
Gadis
kelas tiga SD itu termenung. Namun berkali-kali ditatapnya sang ibu, tak ada
lagi kalimat meluncur dari sana. Hanya senyum terus terpasang.
***
Bapak dan mama pun kurasa jauh lebih kuyup
syukur. Kesabaran mereka membuahkan hasil. Meski ini baru awalnya, masih ada
serangkaian proses panjang yang harus dilalui mereka dalam membersamai kami,
kedua anaknya. Pengalaman pertama menjadi orang tua tentu bukan hal yang mudah
bagi mereka. Namun, keseriusan mereka untuk terus belajar dari setiap peristiwa
yang terjadi dalam hidup kami, nyata mulai berbunga, barangkali sekejap lagi
berbuah ranum. Aamiin, semoga.
Jika dulu mereka mendidikku serupa menggenggam
pasir, terlalu keras bahkan, lebih dari sekedar menggenggam. Maka siapa pun
tahu, pasir akan menyusup melalui celah-celah jari, terus mencari peluang untuk
keluar dari genggaman. Beruntung aku bukanlah pasir yang gigih mencari peluang
keluar dari genggaman. Aku adalah pasir yang tersegera merasa lelah saat
menyusupi celah-celah jari, maka pasrahlah aku dalam genggaman, yang nyatanya
membuatku sangat ‘aman’ dari lingkungan sekitar.
Adikku mendapat perlakuan berbeda. Orang tuaku
jauh lebih ceria dan terbuka mendidiknya. “Mama belajar banyak dari pola-pola
saat mendidikmu,” begitu kata mama suatu ketika. Sehingga kini mereka serupa
sedang bermain layang-layang. Begitu luwes tarik-ulur. Adikku merasa punya
ruang yang cukup untuk terbang, berekspresi, dan memutuskan ‘arah angin’ yang
mana yang layak untuk membawa dirinya.
Aku turut bahagia untuk itu. Aku menjadi semacam media ‘uji kelayakan’
pola pendidikan yang mereka lakukan, itu tak jadi soal. Toh, bagaimana pun hidupku hari ini adalah hidup terbaik yang Allah
berikan, dititipkan pada mama dan bapak adalah kesempatan belajar terbaik yang
kumiliki.
Termasuk belajar mengarahkan adikku yang menurut
teori psikologi populer, seorang koleris-sanguinis. Tantangan tersendiri untuk
menaklukan sang koleris. Ketelatenan kedua orangtuaku bermuara pada kesadaran
tingkat tinggi, tanpa ada ketegangan, tanpa ada paksaan. Dibimbingnya adikku
untuk terus belajar. Dibujuknya adikku untuk bersedia rutin mengaji. Diperlakukannya
adikku selayaknya manusia yang memiliki keinginan dan pendapat, maka
diskusi-diskusi kerap terjadi. Bukan sebuah diskusi kaku, namun diskusi hati
penuh canda.
“Ma,
ternyata kata Pak Ustadz perempuan itu harus pakai jilbab, kalau nggak percuma
saja sholat.” begitu ungkap adikku suatu ketika. Alhasil, kebalikan dari
‘proposal’ sebelumnya, kini adikku mengajukan ‘proposal’ baru : membeli seragam
sekolah panjang dan baju yang panjang-panjang, juga jilbab (disebutnya sebuah
merek jilbab).
***
“Ini bagus gak?”,
mata hitam adikku mencari dukunganku. Kuseksamai ia dalam balutan jeans hitam
longgar dan kaos sepanjang lutut dengan warna kombinasi putih dan maroon, pada bagian depan kaos tersebut
terdapat gambar angry bird besar.
Jilbab putih memberi garis batas pada wajahnya. Aku mengangguk.
Ini adalah satu kesempatan saat ia akan
bepergian. Kali lain sering ditanyainya aku apakah baju yang dipakainya cocok
atau tidak. Semisal saat akan ikut mama ke undangan, saat akan berangkat
mengaji, saat akan pergi les, saat akan berlatih bulu tangkis di akhir
pekan…saat..saat..banyak. Aku selalu bahagia menyeksamainya dalam tunik
bermotif bunga, dalam gamis kopi susu kombinasi coklat, gaya sporty dalam balutan jeans atau celana training dan kaos sepanjang lutut, yang
kesemuanya dilengkapi jilbab blus.
Tiba-tiba hampir setiap hari mama bilang,
“Ade cantik ya, Teh?”.
Bukankah kecantikan perempuan memang tidak
terletak pada seberapa terbuka pakaian yang dikenakan hingga memamerkan bentuk
tubuhnya? Namun, ada yang jauh lebih esensi dari pada sekedar pesona fisik itu.
Kejadian adikku yang memutuskan berjilbab sejak kelas empat SD (sekali lagi itu
adalah keputusannya, tak ada paksaan dari siapa pun) adalah bukti ketaatan yang
menyentuh hatiku. Juga bukti kasih sayangNya yang sulit sekali kusangkal. Maka
nikmat yang mana yang sanggup kudustakan?
Rumahku Surgaku, 9 Juni 2012
~Icha Planifolia~
Diselingi
ricuh lalu lalang adikku yang ingin membeli strawberry
dan tiba-tiba bergelayut manja di lengan bapak sembari saling ‘mengejek’ serta aroma
masakan yang lezat dari dapur, mama di sana sedang meracik bumbu cinta. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar