Gambar diambil dari sini |
Angin
asik sekali memainkan anak rambutmu. Seperti juga ia asik memainkan dedaunan,
menimbulkan bunyi gemerisik. Gemerisik yang seketika juga hadir di dadaku.
Entah ini bagian kebiasaanmu atau ini kebetulan yang kesekian, kujumpai kau di
salah satu bangku di taman kota. Pun untuk kesekian kali, aku menjaga jarak
yang sangat ‘aman’ denganmu, terbukti kau tak pernah menyadari keberadaanku.
Aktivitas
senjamu tetap sama, duduk bersisian dengan kamera SLRmu sembari berkonsentrasi pada kertas-kertas di hadapanmu. Sangat
berkonsentrasi, hingga abai dengan keriuhan sekitar. Wajahmu akan sedemikian rupa disapa matahari
senja. Bibirmu terus bergerak-gerak, mungkin dari jarak yang dekat aku akan
tahu suara yang terlahir sangat lirih. Terus begitu, serupa orang merapal
mantra. Berhalaman-halaman kau lahap tanpa lelah, seperti aku yang tak juga
lelah menyeksamaimu.
Ketika
‘kebetulan’ kudapati kau disini, kuulangi ritual menyeksamaimu dari jarak ‘aman’,
meski akhir adegan ini sungguh kuketahui. Aku akan pulang dengan dada yang amat
berat. Dengan perasaan serba tak layak.
Kali
lain aku terjebak kemacetan. Social media
dalam genggaman menjadi alternatif cara membunuh bosan. Kubuka Twitter. Lima menit yang lalu temanmu
baru saja mengirimkan tweet. Tweet yang membuatku gulana sepanjang
hari. Sepanjang minggu, bahkan hingga kini.
Saat
di hadapan Tuhan tak lagi sanggup kurangkul namamu dalam doa-doa panjang.
Sekadar menyebutnya saja lidahku seolah sudah tak punya ruang. Kembali
terbayang kejadian di taman. Kembali tweet
itu melayang-layang. Seketika tangisku buncah, suaranya jauh dari merdu. Aku
tak perduli. Aku merana, merajuk pada Tuhan.
“Tuhan,
aku melihatnya sedang membaca ayat-ayatMu dengan khusyu, nyaris setiap sore di
bangku taman, aku bisa berdiri hingga satu jam disana. Selama itu pula dia
terus membaca. Berapa banyak dia merapal ayat-ayatMu setiap hari? Kukira aku
tak membaca sebanyak dia, bahkan terkadang aku lupa.”
Aku
akan sesenggukan saat mengadukan hal itu. Antara malu dan mencoba mencari celah
terwujudnya impianku. Kata-kata dalam Tweet itu serta merta turut tumpah ruah :
“Beuh sirik sama @MFjar, udah 8 Juz aja -_-“. Kembali tangisku buncah.
“Kau
tahu hafalanku tak sebanyak itu, Tuhan…”
Kali
ini suara tangisku semakin tak merdu. Perasaan yang tak dapat kusangkal.
Pengharapan yang tak dapat kudustakan. Pun jutaan perasaan tak layak yang tak
henti menyergap.
“…dan
perempuan yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik
adalah untuk perempuan-perempuan yang baik (pula).”*
Di
penghujung malam, serak sekali kurapal kalimat dalam kitab suci itu. Apakah
Tuhan memang tak mematahkan salah satu rusukmu untuk menciptakanku? Hening merambat
mendampingiku yang semakin gigih merapal mantra doa. Bukan mantra agar hidup
bersamamu, Fajar.
“Tuhan,
izinkan aku bertemu dengan pertobatan yang manis.”
Kamar
Sunyi, 20 Juni 2012
~Icha
Planifolia~
*)
Q.S An-Nur : 26
nice!
BalasHapusHatur nuhun kang Ron...
Hapus#jleb
BalasHapusAda pisaukah di tulisan saya? hehe
Hapus