(Gol A Gong)
Gambar diambil dari sini (karena saat pergi gak bawa kamera :) ) |
Langit
Cimahi baru saja berdandan, dari sendu keabuan menjadi ceria kemerahan. Tak ada
cericit burung, tidak juga terdengar kokok ayam. Deru mesin mobil dan motor
yang mulai bersahutan, itu yang disuguhkan. Badanku mengejang kegirangan.
Memulai perjalanan terasa selalu mengasyikkan. Investasi tak kasat mata, itulah
perjalanan. Disana ada pendidikan. Percayalah!
Aku
meninggalkan kamar kosku yang tidak terlalu luas masih sekitar pukul enam lebih
empat puluh menit. Kusandang ransel menuju gerbang tol Padalarang, menantikan
bus. Satu-dua bus melintas di hadapanku, mengepulkan asap dan debu. Baunya
berebut merayapi hidung dan saluran pernafasanku. Bau jalan yang seperti morfin
: adiktif!
Ada perasaan
yang tak asing saat bus memasuki Tasikmalaya. Rumah-rumah yang berderet di
samping kiri jalan mengingatkanku pada desa kelahiranku. Rumah-rumah sederhana,
diantaranya masih rumah panggung, menggambarkan bagaimana kondisi ekonomi
masyarakat daerah ini. Sejurus kemudian mataku dimanjakan oleh sawah yang hijau
terhampar. Indah sekali. Tak sadar aku tersenyum sendiri. Untuk apa? Mengagumi
lukisan Sang Pelukis dengan selera seni paling tinggi.
Di suatu
daerah yang entah, sudah memasuki daerah Ciamis yang pasti. Bus merangsek
perlahan. Jalanan padat merayap. Tidak macet, hanya berjalan lambat. Aku masih
terus melempar pandang ke luar, seolah dengan begitu aku dapat menyusup dalam
nadi kehidupan warga sekitar. Mataku bertumbukan dengan sebuah pemandian umum,
persis di sisi kiri jalan utama! Aku tak bisa membayangkan jika aku mandi
disana. Pasti tidak bisa. Dinding kamar mandi itu hanya setinggi dada orang
dewasa (tentu bukan orang dengan tinggi badan 170 cm, mungkin untuk orang
dengan tinggi sekitar 150-160 cm), tidak, kurasa sedikit lebih rendah dari itu.
Dan tidak berpintu. Wah, terbayang akan sangat tembus pandang!
Disana
kutemukan dua bocah perempuan. Kulitnya coklat terbakar matahari. Mereka
berdiri telanjang di muka kamar mandi. Di belakangnya air pancuran mengucur menjadi lukisan artistik dalam pandanganku. Wajah
mereka lugu. Ketimbang mandi mereka malah sibuk mengamati bus atau kendaraan
lain yang lalu lalang. Kuamati mereka. Juga bola mata yang tak sengaja
bertumbukan dengan mataku. Aku tersenyum. Mereka bergeming, ragu untuk membalas
senyumku. Aku tetap tersenyum. Lebih dari sekadar membagi senyum pada mereka,
tapi sekali lagi Sang Pelukis ini terbukti memiliki selera seni tiada
tandingan. Indah. Percayakah kau fenomena itu indah? Pergilah ke Ciamis dan
temukan kamar mandi di sisi kiri jalan itu, tunggulah hingga ada bocah mandi
disana, aku garansi kau akan tersenyum melihatnya. Dan seketika dirimu akan
kuyup syukur. Rasa syukur inilah yang indah. Barangkali ingatanmu akan terbang
pada kamar mandi di rumah dengan shower,
bathtub, water heater, atau paling tidak kamar mandi yang sudah berlapis
keramik dengan dinding utuh dan berpintu, meski air harus diciduk dengan
gayung. Bagaimanapun itu sudah lebih baik bukan?
Bus masih
melaju dengan kecepatan sedang. Lajunya semakin melambat saat semakin mendekati
Pangandaran. Bukan apa-apa, jalanan mulai sempit dan berlubang. Disamping
banyak terdapat tikungan dalam posisi menanjak. Teledor sedikit bus akan
melibas kendaraan dari arah berlawanan saat menikung.
***
Bulan
mengintip malu di balik arakan awan hitam. Kukayuh sepeda yang kusewa dengan
harga sepuluh ribu rupiah. Di sepanjang jalan pantai pangandaran terdapat
banyak penyewaan sepeda. Kau dapat memilih : sepeda satu jok, dua jok, tiga,
bahkan empat hingga lima jok, untuk dinaiki ramai-ramai. Menuntut kekompakan
dan kerja sama yang baik menaiki sepeda sepanjang itu. Yang kupilih tentu yang
satu jok saja. Malam ini aku ingin menghirup bau laut dan berkeliling sekejap.
Jalanan
masih ramai. Hidup. Toko-toko yang menawarkan aneka oleh-oleh masih ramai.
Mulai dari kaos, kain pantai, hot pant,
hingga aneka aksesoris. Tinggal pilih sesuka hati akan memberikan tanda mata
apa untuk orang tersayang, teman atau keluarga di rumah misalnya.
Kukayuh
sepeda di sisi kiri jalan, berseberangan dengan Pantai Barat Pangandaran.
Menyusuri jalanan yang masih saja ramai. Melewati Pangandaran Beach Hotel.
Kutemui pertigaan, berbelok ke kiri. Semakin meriah saja suasananya. Aneka
mobil mewah memadati jalan. Sesak orang berbelanja. Aku tersenyum. Sejujurnya
bukan perjalanan seperti ini yang kudambakan. Benakku mulai mereka perjalanan
macam apa yang ingin kutempuh kelak. Lain waktu.
Satu jam
setengah bertengger di atas sadel sepeda, nafasku mulai ngos-ngosan. Usai melihat-lihat Pasar Wisata kukembalikan sepeda
yang kusewa. Dua sejoli yang sangat sabar menantikan penyewa sepedanya. Pemuda
dan gadis, mereka mungkin pasangan muda atau bisa jadi mereka kakak-beradik, ah
hubungan apa pun yang mereka miliki itu bukan urusanku. Yang menjadi urusanku
adalah wajah dan sorot mata mereka. Menyiratkan ketegaran atas hidup yang
keras. Hari merangsek malam, angin kencang menampar, nyamuk menyerbu, dan
mereka masih disini : terus menyewakan sepeda yang ditukar dengan lembar
sepuluh ribuan. Kuucapkan terimakasih pada pemuda yang tak kuketahui namanya
itu setelah selembar sepuluh ribu berpindah tangan.
Aku melihat
mereka sekali lagi sebelum berbelok menuju pantai. Tiba-tiba jiwaku bernarasi,
mengutip sebuah kalimat yang kubaca dalam Novel Avonturir (Novel ke-2 dari
sepuluh Novel Balada Si Roy) : Seseorang
yang ingin mencapai tujuan dalam pergulatan hidupnya, bukan mereka yang tidak
pernah jatuh. Akan tetapi, dia berusaha untuk bangkit berdiri setelah jatuh.
Ya, begitulah seharusnya kita melihat hidup yang serba keras dan kompetitif
ini. Muda mudi itu usianya mungkin lebih muda dariku, tapi mereka perlu
perjuangan panjang untuk sekadar –mungkin- menebus sepiring nasi. Tiba-tiba aku
merasa kerdil. Kelebatan wajah adikku semata wayang melintas, juga tentang masa
depannya yang tiba-tiba terasa disandangkan dipundakku, seperti ransel ini. Hidup
yang serba keras dan kompetitif, akan kumenangkan itu!
Kubuka
sepatuku. Membiarkan sensasi pasir yang melesak saat terinjak terasa jelas di
kakiku. Pantai ini gelap. Hanya ombak yang berwarna putih yang tampak.
Kutengadah, bulan masih menaungiku. Aku berselonjor begitu saja di atas pasir.
Membiarkan pasir-pasir yang mungkin asin karena butiran garam itu bergesekan
dengan celana jeansku. Jilbabku berkibar-kibar. Anginnya kencang. Tapi tidak
dingin. Bahkan pasir yang seharian ditimpa sinar matahari itu terasa hangat.
Kalau tidak percaya coba saja, ke pantai malam hari dan berselonjor, hangat.
Seorang gadis
dengan usia yang kuterka lebih muda dariku membagi senyum. Mengambil tempat di
samping kananku. Turut duduk berselonjor.
“Betul kata
temanku, kalau tak ada uang untuk menyewa hotel tidur saja di pantai, hangat.”,
katanya membuka percakapan. Aku tertawa mendengarnya. Boleh juga, aku membatin
sembari tersenyum geli. Tapi losmen murah sudah disewa, dan aku akan tidur
disana malam ini.
“Sekarang
pantainya jadi sangat ramai.”, kataku lebih tampak seperti pengumuman.
“Iya,
lama-lama duduk di pasir begini saja mungkin akan kena tarif.”, timpalnya
sembari mengamati pantai yang sudah di eksploitasi habis-habisan. Aku tertawa
hambar, merasa ada gulana yang dititipkan dalam kalimat gadis itu.
Pangandaran.
Sebuah kecamatan, kadang disebut kota kecil, terletak sekitar 29 km di selatan Ciamis ini cukup terkenal untuk
berselancar. Besok aku akan mencoba bermain ombak disini. Sekali lagi aku
tengadah ke langit. Ada sesuatu yang terasa hening. Hening sekali. Sebuah cinta
yang sepi, kepada hidup, kepada alam. Untuk kesekian kalinya cinta ini
merambatiku. Cinta yang sepi. Sulit sekali kuekspresikan.
Ombak terus
saja melahap pasir. Serupa barisan gigi putih yang cantik tapi siap menerkam. Tasbih berkali-kali meluncur dari
bibirku. Jika ombak itu melahapku, tamatlah aku! Sekali lagi tasbih dan kali ini beserta tahmid kuucapkan. Kesempatan hidup sungguh
cintaNya yang harus dibalas. Bagaimana caranya?
Kamar Sunyi,
4 Juli 2012
~Icha
Planifolia~
Jadi kemarin ke Pangandaran judulnya solo traveling nih? ;) saya terakhir ke sana SMP, sudah berapa tahun tuh hehe
BalasHapusKe Pangandaran tanggal 30-1 juli, Enggak solo travelling sih Mbak...:)
HapusWah lama juga ya...
Ayo kita backpacking bersama Mbak Sash :D