Bandung berdandan too much. ‘Menor’. Jalanan
kota kembang ini kini sesak sekali. Rupa-rupa kendaraan tumpah ruah. Malas
sekali harus berada di jalan menjelang jam berbuka puasa : padat luar biasa! Tapi,
apa boleh buat, pertemuan yang tertahan tentu melahirkan rindu yang menuntut
untuk dituntaskan. Ya, karena rindu pada sahabat-sahabat semasa SMA saja aku
rela berpadat-padat di jalan menuju Jl. Otten, buka bersama di Otten Inn.
Sungguh di luar dugaan, ini mengantarku untuk
bertemu denganmu. Lama sekali kita tak berjumpa, sejak kau bertugas di tanah
Serambi Mekah. Aku masih tak mempercayai bahwa kau yang ada di hadapanku malam
itu. Sejak aku rutin menyeksamaimu di taman kota, kau yang asik menghabiskan
berhalaman-halaman firman Tuhan, aku sudah merasa kalah. Aku merasa tak pantas.
Bahkan untuk sekadar meminta agar Tuhan menyandingkan kita, lidahku kelu. Maka,
perjumpaan denganmu tentu hal yang selalu kuhapus dari angan-anganku. Siapa aku
mengharapkanmu? Selalu pertanyaan itu yang terlintas.
Gambar diambil dari sini |
Namun, Tuhan selalu ‘bekerja’ dengan misterius.
Barangkali, meski bibirku tak pernah mengucap, harapan dalam hatiku yang paling
sudut tak bisa kusembunyikan dari pandanganNya. Usai buka bersama, aku mematung
di pinggir jalan. Menanti angkutan kota yang bisa mengantarku pulang. Tak terlintas dalam pikiranku Tuhan akan mengirim
seseorang untuk mengantarku pulang. Lebih tak terbayangkan jika seseorang itu
kau!
Gerakan paling ekstrem yang ingin kulakukan
adalah mengucek mata, demi memastikan bahwa kau yang ada di hadapanku. Namun,
tentu aku tak melakukannya. Aku menajamkan pandangan meski kita ada dalam jarak
yang cukup dekat. Hanya demi memastikan bahwa bayangan yang jatuh pada retina
mataku memang bayanganmu. Sesungging senyum yang selalu kurindu kau bagi
untukku. Dan omelan kecil yang begitu menyenangkan menghujaniku. Aku tidak
kesal sama sekali, aku suka kau mengomel begitu.
“Kenapa sudah jam setengah sembilan masih di
luar? Sendirian pula. Malam-malam begini kan
riskan untuk perempuan. Lain kali jangan pulang malam-malam begini, ya?” begitu
katamu tanpa memberiku kesempatan menjelaskan. Aku sama sekali tak keberatan
tak kau beri kesempatan bicara. Terus saja mengomel. Tak apa. Aku sedemikian
rupa menahan senyum saat mendengarkan omelanmu.
Dan menit-menit berikutnya kau tetap di
tempatmu. Membersamaiku menunggu angkutan kota. Berkali-kali kuminta kau pulang
saja, tapi kau tak bergeming. “Aku akan pulang setelah tahu kau selamat sampai
rumah.” kalimat yang terasa seperti hadiah berlian bagiku. Andai kau cermati,
degup jantungku berlomba dengan laju kendaraan : kencang sekali! Jika hari
cukup terang, barangkali pipiku yang memerah akan kentara.
Entah apa yang terjadi dalam jeda kita yang
terpisah ruang dan waktu. Kau hadir seperti bukan dirimu. Tak kudapati dirimu
yang cuek. Tak kudapati dirimu yang bersikap seenaknya. Yang ada hanya dirimu
yang lembut dan terasa begitu pengertian. Terlebih saat kau melirik tas
jinjingku. Kau menawarkan diri untuk membawanya. Padahal tas jinjing itu tak
terlalu berat. Kau bilang aku terlihat repot membawa dua tas. Aku me-rewind ucapanmu berkali-kali.
Berkali-kali. Benarkah kau tak rela melihatku kerepotan? Bahkan hanya karena aku
membawa tas gendong dan tas jinjing sekaligus.
Kita duduk berseberangan di dalam angkutan kota.
Momen itu membuatku sulit sekali memejam mata. Tak ada romantisme seperti
kebanyakan pasangan memang. Pertama, tentu saja karena kita bukan sepasang
kekasih. Kedua, kalau pun kita sepasang kekasih, kita tentu memilih cara
mencintai yang lain, lebih dari sekadar romantisme semu. Cara mencintai yang
kita harap dengannya Tuhan menjadi begitu mencintai kita.
Berbeda dari biasanya, kau terasa begitu terbuka.
Cerita-ceritamu menjadi dongeng sebelum tidur. Aku mengingatnya. Nyaris setiap
detilnya. Setelah kita saling mengenal cukup lama, baru kali ini aku tahu bahwa
kau tumbuh bersama rupa-rupa persoalan hidup. Tentang ayahmu yang meninggal
tertembak di daerah konflik, kau pernah menceritakannya. Suatu ketika yang aku
tak ingat persis waktu pastinya. Tapi, tentang ibumu yang nyaris depresi
sepeninggal ayahmu. Tentang biaya hidup sehari-hari yang harus kau tanggung.
Kau membagi waktu antara kuliah dan berjualan, berjualan apa saja. Mulai dari
berjualan koran hingga berjualan lukisan. Kau memang suka menggambar sejak
lama. Semua kau tekuni untuk memastikan perutmu, perut ibumu, dan perut adik
semata wayangmu terisi. Juga untuk kuliah yang kau yakini mesti kau selesaikan,
walaupun kau tak berniat menukar ijazah dengan lembar rupiah. Terbukti kau tak
mengandalkan ijazah itu kini. Seluruh cerita itu, baru kini kuketahui.
Hingga pada satu liku cerita matamu memerah.
Tentang ketidakmampuanmu membayar biaya kuliah adikmu selama beberapa semester.
Tentang adikmu yang mengurung diri di kamar, tak mau bicara dengan siapa pun
ketika akhirnya harus ‘meluluskan’ diri sebelum meraih gelar sarjana. Tentang
kau yang harus berjuang mendampingi adik dan ibumu. Aku tak bisa banyak
berkata, “Tapi, dengan semua itu kau tumbuh menjadi laki-laki hebat. Fajar yang
sekarang tak akan ada tanpa rangkaian persoalan itu.” itu saja yang bisa
kukatakan.
Semua itu mengukuhkan kekagumanku padamu.
Sekaligus menyudutkan harapanku. Aku semakin merasa tak layak. Sekadar berharap
pun aku semakin tak mampu. Ingin sekali kurangkul namamu dalam doa dan sujud
panjangku. Tapi, setiap kali aku tak mampu. Saat aku merajuk pada Tuhan,
seperti malam ini, ingin sekali kuutarakan bahwa aku mengharapkanmu menjadi
imamku. Namun, tak ada keberanian untuk merapal namamu dalam doaku.
Malam ini, sudah hampir dua jam aku bersimpuh. Merajuk
pada Tuhan. Telah puluhan menit lalu aku meminta rahmat dan keberkahan hidup
bagi kedua orang tuaku. Menit-menit telah berlalu sejak kuminta ampunan bagi
diriku dan kedua orang tuaku. Selebihnya hening. Bibirku tetap rapat. Hanya nafasku
saja yang terdengar satu-satu.
“Tuhan, pertemukan aku dengan pertobatan yang
manis…” lagi-lagi hanya kalimat ini yang sanggup meluncur dari mulutku. Biarlah
harapan tentang hidup bersamamu kusimpan rapat. Pada akhirnya, bukan soal
apakah kita hidup bersama atau tidak, tetapi soal sisa usia yang diliputi iman
dan keberkahan. Nyatanya, walau kemudian aku tak bersamamu, patut untuk tetap
bersyukur jika iman dan keberkahan diberikanNya membersamai sisa usiaku, juga
sisa usiamu. Bukan lagi soal kita menghabiskan sisa takdir bersama. Meski jika
kau telisik hingga hatiku yang paling sudut, sejujurnya aku berharap Tuhan mematahkan
salah satu tulang rusukmu untuk menciptaku.
Kamar Sunyi, 14 Agustus 2012
~Icha Planifolia~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar