Selasa, 14 Agustus 2012

Sebait Kisah


Bandung berdandan too much. ‘Menor’. Jalanan kota kembang ini kini sesak sekali. Rupa-rupa kendaraan tumpah ruah. Malas sekali harus berada di jalan menjelang jam berbuka puasa : padat luar biasa! Tapi, apa boleh buat, pertemuan yang tertahan tentu melahirkan rindu yang menuntut untuk dituntaskan. Ya, karena rindu pada sahabat-sahabat semasa SMA saja aku rela berpadat-padat di jalan menuju Jl. Otten, buka bersama di Otten Inn.

Sungguh di luar dugaan, ini mengantarku untuk bertemu denganmu. Lama sekali kita tak berjumpa, sejak kau bertugas di tanah Serambi Mekah. Aku masih tak mempercayai bahwa kau yang ada di hadapanku malam itu. Sejak aku rutin menyeksamaimu di taman kota, kau yang asik menghabiskan berhalaman-halaman firman Tuhan, aku sudah merasa kalah. Aku merasa tak pantas. Bahkan untuk sekadar meminta agar Tuhan menyandingkan kita, lidahku kelu. Maka, perjumpaan denganmu tentu hal yang selalu kuhapus dari angan-anganku. Siapa aku mengharapkanmu? Selalu pertanyaan itu yang terlintas.


Gambar diambil dari sini
Namun, Tuhan selalu ‘bekerja’ dengan misterius. Barangkali, meski bibirku tak pernah mengucap, harapan dalam hatiku yang paling sudut tak bisa kusembunyikan dari pandanganNya. Usai buka bersama, aku mematung di pinggir jalan. Menanti angkutan kota yang bisa mengantarku pulang. Tak  terlintas dalam pikiranku Tuhan akan mengirim seseorang untuk mengantarku pulang. Lebih tak terbayangkan jika seseorang itu kau!

Gerakan paling ekstrem yang ingin kulakukan adalah mengucek mata, demi memastikan bahwa kau yang ada di hadapanku. Namun, tentu aku tak melakukannya. Aku menajamkan pandangan meski kita ada dalam jarak yang cukup dekat. Hanya demi memastikan bahwa bayangan yang jatuh pada retina mataku memang bayanganmu. Sesungging senyum yang selalu kurindu kau bagi untukku. Dan omelan kecil yang begitu menyenangkan menghujaniku. Aku tidak kesal sama sekali, aku suka kau mengomel begitu.

“Kenapa sudah jam setengah sembilan masih di luar? Sendirian pula. Malam-malam begini kan riskan untuk perempuan. Lain kali jangan pulang malam-malam begini, ya?” begitu katamu tanpa memberiku kesempatan menjelaskan. Aku sama sekali tak keberatan tak kau beri kesempatan bicara. Terus saja mengomel. Tak apa. Aku sedemikian rupa menahan senyum saat mendengarkan omelanmu.

Dan menit-menit berikutnya kau tetap di tempatmu. Membersamaiku menunggu angkutan kota. Berkali-kali kuminta kau pulang saja, tapi kau tak bergeming. “Aku akan pulang setelah tahu kau selamat sampai rumah.” kalimat yang terasa seperti hadiah berlian bagiku. Andai kau cermati, degup jantungku berlomba dengan laju kendaraan : kencang sekali! Jika hari cukup terang, barangkali pipiku yang memerah akan kentara.

Entah apa yang terjadi dalam jeda kita yang terpisah ruang dan waktu. Kau hadir seperti bukan dirimu. Tak kudapati dirimu yang cuek. Tak kudapati dirimu yang bersikap seenaknya. Yang ada hanya dirimu yang lembut dan terasa begitu pengertian. Terlebih saat kau melirik tas jinjingku. Kau menawarkan diri untuk membawanya. Padahal tas jinjing itu tak terlalu berat. Kau bilang aku terlihat repot membawa dua tas. Aku me-rewind ucapanmu berkali-kali. Berkali-kali. Benarkah kau tak rela melihatku kerepotan? Bahkan hanya karena aku membawa tas gendong dan tas jinjing sekaligus.

Kita duduk berseberangan di dalam angkutan kota. Momen itu membuatku sulit sekali memejam mata. Tak ada romantisme seperti kebanyakan pasangan memang. Pertama, tentu saja karena kita bukan sepasang kekasih. Kedua, kalau pun kita sepasang kekasih, kita tentu memilih cara mencintai yang lain, lebih dari sekadar romantisme semu. Cara mencintai yang kita harap dengannya Tuhan menjadi begitu mencintai kita.

Berbeda dari biasanya, kau terasa begitu terbuka. Cerita-ceritamu menjadi dongeng sebelum tidur. Aku mengingatnya. Nyaris setiap detilnya. Setelah kita saling mengenal cukup lama, baru kali ini aku tahu bahwa kau tumbuh bersama rupa-rupa persoalan hidup. Tentang ayahmu yang meninggal tertembak di daerah konflik, kau pernah menceritakannya. Suatu ketika yang aku tak ingat persis waktu pastinya. Tapi, tentang ibumu yang nyaris depresi sepeninggal ayahmu. Tentang biaya hidup sehari-hari yang harus kau tanggung. Kau membagi waktu antara kuliah dan berjualan, berjualan apa saja. Mulai dari berjualan koran hingga berjualan lukisan. Kau memang suka menggambar sejak lama. Semua kau tekuni untuk memastikan perutmu, perut ibumu, dan perut adik semata wayangmu terisi. Juga untuk kuliah yang kau yakini mesti kau selesaikan, walaupun kau tak berniat menukar ijazah dengan lembar rupiah. Terbukti kau tak mengandalkan ijazah itu kini. Seluruh cerita itu, baru kini kuketahui.

Hingga pada satu liku cerita matamu memerah. Tentang ketidakmampuanmu membayar biaya kuliah adikmu selama beberapa semester. Tentang adikmu yang mengurung diri di kamar, tak mau bicara dengan siapa pun ketika akhirnya harus ‘meluluskan’ diri sebelum meraih gelar sarjana. Tentang kau yang harus berjuang mendampingi adik dan ibumu. Aku tak bisa banyak berkata, “Tapi, dengan semua itu kau tumbuh menjadi laki-laki hebat. Fajar yang sekarang tak akan ada tanpa rangkaian persoalan itu.” itu saja yang bisa kukatakan.

Semua itu mengukuhkan kekagumanku padamu. Sekaligus menyudutkan harapanku. Aku semakin merasa tak layak. Sekadar berharap pun aku semakin tak mampu. Ingin sekali kurangkul namamu dalam doa dan sujud panjangku. Tapi, setiap kali aku tak mampu. Saat aku merajuk pada Tuhan, seperti malam ini, ingin sekali kuutarakan bahwa aku mengharapkanmu menjadi imamku. Namun, tak ada keberanian untuk merapal namamu dalam doaku.

Malam ini, sudah hampir dua jam aku bersimpuh. Merajuk pada Tuhan. Telah puluhan menit lalu aku meminta rahmat dan keberkahan hidup bagi kedua orang tuaku. Menit-menit telah berlalu sejak kuminta ampunan bagi diriku dan kedua orang tuaku. Selebihnya hening. Bibirku tetap rapat. Hanya nafasku saja yang terdengar satu-satu.

“Tuhan, pertemukan aku dengan pertobatan yang manis…” lagi-lagi hanya kalimat ini yang sanggup meluncur dari mulutku. Biarlah harapan tentang hidup bersamamu kusimpan rapat. Pada akhirnya, bukan soal apakah kita hidup bersama atau tidak, tetapi soal sisa usia yang diliputi iman dan keberkahan. Nyatanya, walau kemudian aku tak bersamamu, patut untuk tetap bersyukur jika iman dan keberkahan diberikanNya membersamai sisa usiaku, juga sisa usiamu. Bukan lagi soal kita menghabiskan sisa takdir bersama. Meski jika kau telisik hingga hatiku yang paling sudut, sejujurnya aku berharap Tuhan mematahkan salah satu tulang rusukmu untuk menciptaku.



Kamar Sunyi, 14 Agustus 2012
~Icha Planifolia~



Tidak ada komentar:

Posting Komentar